Tiga Puluh Satu: Gigit Guling

788 68 29
                                    


Getaran ponsel menginterupsi tidurnya. Matanya terbuka perlahan, mencoba menyesuaikan dengan sinar lampur kamar yang terang benderang.

Ponsel yang tergeletak di perutnya masih bergetar, ia melirik.

Abidzar is calling.

"Hmm? Kenapa Abi?" gumamnya, lalu mencari tahu ini jam berapa berapa dengan menengok ke arah jam dinding di samping pintu kamar.

20:30.

Akhirnya ia menyadari, ia ketiduran.

Masih bergetar, akhirnya ia mengangkat telepon itu, dan mendapati perutnya bergejolak karena mendengar suara berat itu. "Hi."

Singkat, pelan. Sapaan yang selalu diucapkannya ketika memulai pembicaraan dengannya. Dan yang selalu ingin membuatnya tersenyum. Masih setengah tersadar antara mimpi dan bukan, ia menjawab, "Kenapa, Bi?"

"Kamu tidur?" Suara laki-laki terdengar sedikit kaget.

Hanya menggumam, "Mmmm."

"Jam segini?"

Wajar Abi bingung. Abi sudah menyadari jam tidur Sintya yang berantakan sejak mereka sering bertukar reels di Instagram. Waktu itu, Abi memprotes karena terbangun dengan sembilan belas notifikasi darinya. Dikira pesan bahaya yang penting, padahal cuma hasil scrolling Sintya semalaman.

"Ketiduran tadi abis solat." Jawabnya. "Kenapa?"

"Kamu nggak mau lanjut tidur?"

Pertanyaan itu membuat sebersit senyum terbit di wajah Sintya. Entah apa? Apa yang membuatnya tersenyum, ia tersenyum begitu saja.

"Nggak, kan cuma ketiduran. Kenapa nelfon?"

Satu hal yang paling menarik dari interaksinya dengan Abi adalah ia merasa seringkali harus mengolah rasa, bermain peran, agar perasaannya yang berlebihan ini tidak terlalu terlihat. Santai Sintya! Santaiiiiiiiiiiii!

"Nggak apa-apa."

Dahinya mengernyit, Ia menggumam bertanya, "Hmm?"

Kalo nggak apa-apa, trus kenapa? Batin Sintya. Dan kok suaranya kayak nggak enak?

Ketika tidak ada respon, Sintya memancingnya. "Lagi apa?"

Meskipun ia harus menggigit guling gara-gara menanyakan hal paling klise yang bisa ditanyakan manusia dia dunia. "Lagi apa?" adalah pertanyaan nomor satu paling tidak kreatif, yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan ketika sedang saling berkomunikasi via telefon.

Tapi, "Lagi apa?" nampaknya masih selalu jadi pertanyaan penyelamat untuk orang-orang yang hubungannya masih abu-abu. Yang segan bertanya lebih, tapi tidak mau menyudahi juga.

"Abis nulis."

"Nulis?"

"Nulis diari."

Sebuah informasi baru. Tolong semuanya ambil kertas, pena, catat! Abidzar Al-Ghifari punya diari!

Sintya tertawa kecil, "Diari?"

Tidak bermaksud patriarki, tapi Sintya ini sisi Abi yang ia baru tahu.

"Kok kamu kayak ngeledek?"

Ia menahan tawa. "Enggaa. Nggak nyangka aja."

"Tuhkan ngeledek."

"Enggaaa, benerannn." Akhirnya tawanya lepas.

Abi sepertinya mau mengambek, "Males ah."

"Iya iya, ini tapi beneran bukan ngeledek, tapi siapa yang nyangka coba dedek Abi yang galak ini suka nulis diari." Mencoba memperbaiki responnya yang sepertinya salah.

"Rese ah."

Ia tertawa lagi mendengar Abi masih tidak terima. Tapi kemudian terdengar langkah kaki mamanya menuju kamar, buru-buru ia mematikan suara telefon.

"Nenggg, dah bangunn?."

Benar saja Mamanya masuk ke kamar.

"Ya Ma?"

"Eh? Iya udah."

"Lagi telfonan sama siapa?"

"Nggak ada." Jawabnya cepat, bahkan terlalu cepat.

"Masa? Tadi denger kamu ketawa-ketawa." Mamanya mengernyit, "Tauk deh ah, mau ke Roetara nggak?"

"Nggak deh, Ma."  Sintya mencari alasan yang paling bagus. "Hmmmm..."

"Sintya ngantuk, Ma." Pura-pura ia merapatkan kelopak mata, berusaha meyakinkan mamanya bahwa ia benar-benar mengantuk. "Ngantuk banget ini."

Hening sebentar. Sepertinya mamnya tidak percaya, namun kemudian, "Yaudah deh ah, Mama pegi dulu."

Ia pura-pura memberengut, lalu melambaikan tangan. "Tolong matiin lampu, Ma, sekalian."

Mamanya menekan saklar dan menutup pintu kamar tanpa menjawab lagi.

Bagus sekali Sintya! Harusnya ada sutradara yang teriak "Cut" untuk sekalian membuat semua ini seperti shooting film betulan. Akting yang terlalu bagus. 

Tapi bukan sutradara, yang terdengar malah suara Abi.  "Hey, kok diem?"

Buru-buru ia mengaktifkan suara. "Sorry sorry tadi ada momsky masuk. Jadi aku mute."

"Kenapa di-mute?"

"Dih kepo!" Jawabanya cepat dan Abi sepertinya tertawa pelan. Fuh, selamet wak!

Sintya menetralkan jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat, dan juga mencoba mengenyahkan pertanyaan dalam hatinya sendiri, kenapa ia tidak jujur dengan mamanya?

Tapi, teringat Abi-nya mungkin sedang tidak baik-baik, Sintya buka suara. "Kenapa tiba-tiba nulis? Lagi banyak pikiran, ya?"

"Hmm."

Beneran ada masalah ya dia kayanya, pikir Sintya.

Memberanikan diri, ia bertanya pelan, "Mau cerita?"

"Gatau."

"Okei. Take your time."

Okay, back off! Pelan-pelan Pak Supir. Sintya diberkati kemampuan mendengarkan cerita dan menghibur dengan baik. Dan Ia ingin skill-nya ini bisa ia gunakan dengan baik saat ini, untuk orang penting yang satu ini.

Ia mencoba amunisi pertamanya, "Di dinding kamar kamu ada cicak nggak sih?"

"Apaan kok tiba-tiba cicak sih, Sin?"

Sintya membela diri, "Ya abis nggak tau kan mau ngomongin apa. Bahas cicak aja. Jadi ada cicak nggak?"

Sepertinya berhasil.  Abi tertawa.

Amunisi kedua, "Atau bahas kolam renang deh, aku penasaran kolam renang di rumah kamu dikuras berapa kali sebulan?"

Lalu, amunisi ketiga,

"Gamau bahas kolam ya? Yaudah bahas Dyna deh, Dyna kapan terakhir dibawa main?"

Hening sebentar sebelum amunisi ke-empat, namun tiba-tiba ia malah tidak berkutik mendengar Abi. "Sin, kamu lucu banget."

Tolong! Ambulan! 911! Amunisi saya keluar tiga kenapa saya yang terkapar?!!!

"Ohh jelass. Sintya Marisca gitu loh." Ia berdecak, mencoba menghalau kupu-kupu di perutnya yang terbang-terbang.

Belum selesai, Abi bersuara lagi,

"Kamu beneran mau bahas cicak atau mending dengar aku cerita?"

Yang membuat Sintya benar-benar menggigit guling.

Ia berdeham, melepas gulingnya. "Cicak sejujurnya nggak menarik sih."

Masih berusaha menjawab Abi dengan tenang, "Ayo cerita, kali aja bisa eyang bantu ini permasalahan ananda Abi."

Keduanya tertawa, namun kemudian Abi bertanya, "Tapi aku penasaran, kamu kemarin-kemarin kenapa keliatan sedih?"

***

BerlayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang