Abi menghembuskan napas lega setelah mendengarkan cerita Adiba. Sintya tidak menganggapnya aneh, dan tidak merasa gimana-gimana setelah Adiba sampaikan salam. Karena Adiba bilang, "Salam dari Ummi dan Abidzar, kemaren pas ketemu mereka tuh aku cerita-cerita kita mau collab gini."
"Harusnya gausah pake headline 'udah aku sampein tadi salamnya' dong kalo gitu," gerutu Abi akhirnya.
Alis Adiba naik, "Ya kan emang bener aku sampein salamnya." Suaranya juga ikut sedikit naik.
"Ya tapi artinya jadi beda."
"Beda gimana?"
"Ya beda."
"Gimana?"
"Gatau ah."
Hening. Abi memutar-mutar batang rokok di tangannya. Rokok yang sejak tadi menunggu dibakar, tapi karena masih bersama Adiba, hal itu harus ditunda dulu.
"Beda karena kamu maunya aku sampein salam yang spesial dari kamu gitu yah? Bukan bareng sama ummi?" Adiba mengerling iseng.
"Yaaa engga gitu." Abi berdecak, menaruh kembali batang rokok ke bungkusnya, lalu berjalan ke arah dapur. Mengambil segelas air lalu mengisi air dingin dari dispenser.
"Trus gimana? Aku ngga ngerti." Tanya Adiba sambil terus memperhatikan gerakan Abi.
Hening.
Tidak ada suara lain selain suara air mengalir dari dispenser ke gelas yang digenggam Abi. Rumah lengang sekali pagi itu. Ummi sedang safari Dakwah ke Malang sedangkan Ayla pergi bersama teman-temannya.
Selesai gelas itu penuh, Abi menarik kursi, kembali duduk di sebrang Adiba. Menenggak gelas itu sampai habis.
"Hmm, Kak.." Abi kembali bersuara.
"Apa?"
"Menurut kakak..." Abi ragu. "Menurut kakak Sintya gimana?"
***
Adiba merasa adiknya aneh sekali.
"Menurut kakak..." Abi terdengar ragu, membuat Adiba semakin penasaran dengan apa yang akan dikatakannya.
"Menurut kakak Sintya gimana?"
Adiba sadar Abi tidak menjawab pertanyaanya, tapi ia memilih tetap menanggapi. "Gimana apanya?"
"Ya orangnya gimana? Menurut Kakak gitu. Orangnya gimana? Sintya... orangnya." Abi terlihat kesal sendiri. Mungkin karena ia kesulitan mengutarakan pertanyaannya dan kalimatnya berantakan, terbalik-balik tidak jelas.
Meskipun begitu, Adiba paham maksudnya.
Adiba berpikir sejenak, "Hmm yaaa... paling sama kayak yang kamu tau lah, cantik, baik, ramah, lucu. Lucu banget malah."
Ia mendengar gumaman Abi sebagai respons, tapi mata adiknya itu menerawang.
"Apa sih yang kamu pikirin?" Ia geregetan melihat orang yang sudah melamun berkali-kali dalam lima belas menit terakhir.
"Sintya."
Kaget dengan jawaban adiknya, tapi ia tidak kuat menahan diri, "Cieeeeeeee."
Yang diledek berdecak sebal. "Aku lagi serius ini."
Lagi-lagi ia kaget dengan respon Abi. Pagi ini Abi benar-benar penuh kejutan. Serius sekali. Urusan Sintya Marisca ini sudah sering naik ke meja makan dan jadi bahasan keluarga, tapi nuansanya selalu berkisar tentang ledek-ledekan saja. Ceng-cengan biasa. Tidak pernah ada hening-hening begini sebelumnya. Paling serem yaa Abi merengut karena lagi bete tapi Adiba masih meledek.
Pagi ini jelas lain ceritanya.
"Oke oke maaf." Adiba mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan gestur menyerah dan tidak mau berperang. Ia mengatur ekspresinya tapi tetap saja tersenyum.
Hening lagi.
"Egy lagi latihan sih sampe sore," Ia berusaha memecah hening horor itu, kemudian mengangkat kedua kakinya ke kursi, sambil mencoba memancing adiknya yang penuh teka-teki ini. "jadi aku punya banyak waktu buat ngobrol."
Terlihat mata Abi masih menerawang, setengah melamun entah memikirkan apa, dan tidak menggubrisnya.
Adiba pun memutuskan bertanya, "Jadi kenapa kamu nanya Sintya gimana?"
Masih hening.
"Kakak tau kan, latar belakang keluarga kita gimana, dan aku berkali-kali bermasalah dengan hal itu." Abi kini kembali bersuara.
Abi lagi-lagi tidak menjawab pertanyaannya, tapi ia juga masih tidak mau mempermasalahkan. "Iya tau." jawabnya.
"Menurut kakak, kalo... kalo Sintya, akan gimana?"
Nah, kali ini ia ingin sekali meledek adiknya itu, tapi melihat wajah Abi yang masih se-serius ini membuat Adiba mengurungkan hati. Paham ini bukan waktu yang tepat. Harusnya Adiba dapet award tahan tawa ini, imannya kuat sekali menahan diri untuk tidak mengeluarkan isi kepalanya.
Dan walaupun pertanyaan Abi terasa.... aneh, tapi, Adiba tahu yang dimaksud Abi.
Ia tahu semua cerita romansa Abi selama ini. Walaupun selalu ingin mendukung Adiknya dalam keadaan apapun, Adiba tahu batasnya. Ia tidak pernah bisa seratus persen mendukung jika memang ada hal-hal yang tidak bisa didukung. Ia ingin mendukung jika memang bisa dan boleh didukung.
"Hmm kalo tentang itu, ini baru surface level ya, menurut aku gak akan ada masalah. Karena dari kemarin aku ngobrol sama dia, aku merasa dia cocok kok sama aku. Walaupun banyak beda aktivitas tapi prinsipnya kurang lebih sama." Ia berusaha memberikan jawaban se-objektif mungkin tanpa melebih-lebihkan. "Aku gak merasa ada jarak antara aku dan dia, bahkan aku nyaman banget dengerin cerita umrah dia kemarin."
"Kenapa nyaman?" Abi terdengar penasaran.
"Nyaman itu kan di hati, aku gak tau persis sih, kan ada banyak faktornya. Bisa jadi karena pembawaan dia, cara dia cerita, adabnya, atau bahkan semangatnya. Buat aku semuanya bikin aku nyaman ngobrol sama dia." Jelas Adiba.
"Jadi, kalau dari surface level aman." Abi mengangguk-angguk. "Kalo lebih jauhnya?"
"Yaa harus dicari tau. Aku kan kemarin cuma photoshoot sama dia, bukan ta'aruf."
"Yeeee, malah kesana." Bibir Abi mengerucut sebal.
"Lah ya bener loh aku!" Adiba membela diri.
"Iya deh ah."
"Ini kenapa sih lagian nanya-nanya ke aku. Tanya Ummi lah." Ia memancing Abi.
"Iya besok aku tanya Ummi."
Jederr. Adiba yang memancing, Adiba yang kaget. Ia terkesiap sampai menahan napas sedetik. Tidak menyangka jawaban adiknya akan se-serius itu.
"Kamu mau ngomong sama Ummi?"
"Iya."
"Soal Sintya?"
"Iya."
"Waahhhhhh!" Adiba bangkit berdiri, berubah heboh dan menepuk kedua telapak tangannya. "KANNNNNNNNNNNN AKU BILANG JUGA APA."
"Lah bilang apa?" Abi mengernyit.
"Kalian cocok banget!!!!!!!"
Tidak paham dengan maksud Adiba. "Kapan kakak ngomong gitu?"
"Tadi, eh kemaren."
"Kemaren kapan? Kan kemaren kita ga ketemu?!"
"Loh? Eh?" Adiba bingung, lalu sedetik kemudian ia nyengir. "Aku ngomong gitu ke Sintya deh ternyata, bukan ke kamu."
"APA?"
"Hehehehehehe." Adiba cengengesan lalu kabur ke dapur.
"LO BAHAS APA SAMA SINTYA?!" Abi berteriak sambil mengekori Adiba yang berjalan cepat ke dapur dengan senyum semakin lebar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlayar
FanfictionCerita fiksi dengan drama romansa dan berbagai highlight kehidupan di Kota Jakarta. Sebagian besar cerita terinspirasi dari kisah kehidupan sehari-hari yang tersedia di media sosial. Tokoh utama cerita terinspirasi dari tokoh asli, namun seluruh alu...