Di dalam dadaku,
ada lautan yang tak henti bergolak,
ombak yang saling bertabrakan,
antara mengikuti arus yang telah lama mengalir,
atau melawan badai menuju pantai yang tak dikenal.Aku berdiri di tengah persimpangan angin,
di sana, bayang-bayang leluhur menggenggam tanganku,
membisikkan kisah yang telah lama tertanam di akar bumi,
sementara hatiku,
seperti burung yang ingin terbang ke langit lain,
mengepakkan sayap menuju tempat yang belum disentuh tradisi.Mana yang harus kupilih?
Mengimani yang telah terjalin seperti benang di atas kain tua,
atau memetik bunga di taman yang berbeda warna,
tempat sejawatku tak pernah melangkah?
Ada gemuruh yang membelah udara,
seolah dua dunia saling berseru,
dan aku di antaranya,
mengukur langkah, menimbang bisikan-bisikan yang berselisih.Hatiku,
seperti perahu yang oleng,
dihempas gelombang keyakinan yang bertolak belakang,
apakah aku harus berlabuh pada pelabuhan yang dikenal,
atau berlayar ke horizon yang tak ada di peta leluhur?Di tengah badai ini,
aku hanya bertanya,
apakah iman adalah warisan yang harus dijaga,
atau lautan luas yang menunggu untuk dijelajahi?
Aku berdiri di atas ombak,
antara masa lalu dan takdir yang kupilih sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diujung Hujan, Masih Ada Tuhan
PoetrySinopsis "Di Ujung Hujan, Masih Ada Tuhan" Dalam perjalanan hidup, badai seringkali datang tanpa peringatan-mengguncang keyakinan, memporak-porandakan harapan, dan membawa perasaan sepi yang pekat. "Di Ujung Hujan, Masih Ada Tuhan" adalah sebuah kar...