Aku adalah embun yang jatuh terlalu awal,
belum sempat menyentuh pagi, sudah menguap oleh angin.
Dulu aku putih, seperti kelopak mawar pertama yang mekar,
tapi kini, bunga itu luruh, daun-daunnya lelah,
terkoyak oleh angin yang tak pernah berhenti bertanya.Di mana tempatku kini,
ketika air sungai tak lagi membersihkan,
ketika setiap tetes air mata justru menambah beban?
Aku tenggelam dalam bayang-bayangku sendiri,
terkubur di antara malam yang tak pernah menjanjikan fajar.Aku ingin berlari,
tapi jejakku sendiri meninggalkan noda,
tak ada jalan yang cukup suci untuk dilalui,
tak ada permulaan yang bisa kutemukan,
hanya labirin tanpa ujung,
membawaku lebih dalam ke dalam lubang hitam.Langit terlalu tinggi,
dan doa-doaku tenggelam sebelum sampai,
terperangkap di antara bisikan dan ketakutan.
Aku berteriak, tapi suara itu hilang,
bercermin pada kehampaan yang terus bertanya,
"Apakah aku bisa kembali,
atau harus kujalani setiap napas dengan debu ini di dadaku?"Setiap hela napas adalah beban,
setiap langkah adalah penjara yang kubangun sendiri,
dan jika malam ini adalah malam terakhirku,
biarlah aku hilang,
seperti kabut yang lenyap tanpa bekas,
tak ada yang mencariku, tak ada yang memanggilku pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diujung Hujan, Masih Ada Tuhan
PoetrySinopsis "Di Ujung Hujan, Masih Ada Tuhan" Dalam perjalanan hidup, badai seringkali datang tanpa peringatan-mengguncang keyakinan, memporak-porandakan harapan, dan membawa perasaan sepi yang pekat. "Di Ujung Hujan, Masih Ada Tuhan" adalah sebuah kar...