Di ujung jalan yang panjang ini,
ada garis tipis yang kutatap dari kejauhan,
seperti fajar yang lambat menyingsing,
mengundang napasku yang tersisa,
untuk akhirnya berhenti mengejar.Aku telah berlari,
melintasi lembah penuh bayang-bayang,
menembus badai, menginjak duri,
tapi kini, angin terasa lembut,
seakan waktu sendiri telah menyerah.Garis itu, seperti pintu yang tak terlihat,
membawa aroma rumah yang tak pernah kulupa,
seperti doa-doa yang terbang jauh,
dan kini kembali menyentuh jiwaku,
mengantar langkah terakhirku pulang.Aku mendengar suara lembut memanggil,
di balik awan putih yang tak terpecah,
"Tugasmu selesai, anak-Ku, bebanmu lenyap."
Dan dalam keheningan,
aku tersenyum pada dunia yang kutinggalkan,
tanpa duka, tanpa air mata,
hanya ketenangan yang menyelimuti,
seperti pelukan yang lama kutunggu.Langkahku ringan, tak lagi terikat,
aku terbang, tak berpijak pada tanah yang menua.
Rumah Bapa ada di depan mata,
dan aku tahu, inilah akhir yang dijanjikan.
Garis finis ini adalah awal dari cahaya abadi,
napas terakhirku berubah menjadi hembusan cinta,
yang terbang ke atas, tanpa henti, tanpa batas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diujung Hujan, Masih Ada Tuhan
PoetrySinopsis "Di Ujung Hujan, Masih Ada Tuhan" Dalam perjalanan hidup, badai seringkali datang tanpa peringatan-mengguncang keyakinan, memporak-porandakan harapan, dan membawa perasaan sepi yang pekat. "Di Ujung Hujan, Masih Ada Tuhan" adalah sebuah kar...