Aku menutup telingaku,
tak ingin mendengar bisikan yang datang dari jauh,
dari sudut-sudut yang tak berujung,
di mana jiwa-jiwa usang berdiri,
mengabarkan sunyi yang merayap di balik waktu.Ada kereta yang lewat tanpa suara,
membawa bayangan-bayangan yang kehilangan cahaya,
mata mereka kosong,
seperti malam yang lupa caranya bersinar,
dan aku tak ingin menjadi salah satunya,
tertinggal di peron,
menunggu jawaban yang tak pernah tiba.Jiwa usang itu berbicara,
namun suaranya tenggelam dalam kabut,
seperti daun yang gugur tanpa sapa,
mati sendiri di tanah yang tak lagi ingat langkahnya.
Aku merapatkan jariku ke telinga,
menolak mendengar kesepian yang tak pernah selesai,
karena di sana,
hanya ada gema yang memantul tanpa arti,
menggali lubang di tempat tak ada cahaya kembali.Aku menatap langit yang tak lagi bicara,
seperti langit yang lelah melihat dunia runtuh berkali-kali.
Jiwaku sendiri berbisik,
namun aku takut mendengarnya,
takut menemukan keusangan yang sama,
takut mendapati malam yang abadi,
tanpa suara, tanpa pelukan,
mati sendiri dalam kehampaan.Dan jika hari ini adalah akhirnya,
biarkan aku berpura-pura,
bahwa suara itu tak pernah datang,
bahwa jiwa usang tak pernah menyentuhku,
aku tak ingin mendengar
mati yang datang sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diujung Hujan, Masih Ada Tuhan
PoetrySinopsis "Di Ujung Hujan, Masih Ada Tuhan" Dalam perjalanan hidup, badai seringkali datang tanpa peringatan-mengguncang keyakinan, memporak-porandakan harapan, dan membawa perasaan sepi yang pekat. "Di Ujung Hujan, Masih Ada Tuhan" adalah sebuah kar...