Aku adalah sungai,
mengalir sendiri di antara batu-batu tajam,
tak ada tangan yang meredam derasnya arus,
tak ada pelukan di tepian untuk sekadar menguatkan.Sebagai yatim,
aku berjalan di bawah langit yang sama,
namun terasa lebih jauh, lebih dingin,
hujan yang turun tak membawa kehangatan,
hanya air, hanya air yang melarutkan semua yang tersisa di dadaku.Di setiap malam,
aku mendengar suara raungan di dalam dada,
suara yang tak pernah keluar,
karena dunia mengajarkan,
bahwa laki-laki tangguh tak boleh menangis,
meski retak di setiap langkah,
meski lelah menahan beban yang tak pernah ringan.Ingin sekali,
kutemukan tempat untuk merebahkan kepala,
mungkin di pangkuan mimpi yang lebih lembut,
atau di pelukan yang tak pernah datang,
tapi aku hanya bisa berdiri,
di antara arus yang menggulung tubuhku,
menahan gemuruh dalam keheningan.Aku menyimpan tangis di sudut mata,
memendam setiap keluh di balik senyum yang dipaksa.
Aku adalah laut yang tak pernah tenang,
menyimpan badai di kedalamannya,
namun selalu terlihat diam di permukaannya.Jalan ini panjang,
tapi aku berjalan sendiri,
tanpa bimbingan tangan yang hangat,
tanpa pelukan yang menjanjikan harapan,
hanya kesunyian yang berbisik di telingaku,
mengajari aku untuk tetap melangkah,
meski kaki ini semakin berat,
meski jiwa ini ingin sekali menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diujung Hujan, Masih Ada Tuhan
PoesiaSinopsis "Di Ujung Hujan, Masih Ada Tuhan" Dalam perjalanan hidup, badai seringkali datang tanpa peringatan-mengguncang keyakinan, memporak-porandakan harapan, dan membawa perasaan sepi yang pekat. "Di Ujung Hujan, Masih Ada Tuhan" adalah sebuah kar...