18. tawaran haga

18 13 0
                                    

Hari minggu yang biasa Rena gunakan untuk goleran di kamar sehari penuh, kali ini jadi agak berbeda. Biasanya setelah bersih-bersih rumah dan masak, Rena langsung ke kamar buat guling-guling di kasur, menonton kartun atau film, dan kadang tidur seharian. Baru ketika sore saat waktunya Lina pulang, Rena keluar dari kamar buat melakukan apa saja biar Lina tidak memarahinya.

Tapi hari ini, pagi-pagi sekali Kala sudah menjulang di bawah pohon jambu depan rumah, melambai-lambai ke arah jendela kamar Rena. Waktu itu masih jam tujuh, Rena baru saja mandi usai beberes rumah. Rupanya Kala ingin mengajak Rena jogging ke taman dekat Asteria Café. Walaupun awalnya misuh-misuh karena sehabis dari taman tubuhnya pasti akan berkeringat lagi, Rena akhirnya mengangguk setuju. Mumpung Lina sudah pergi ke toko setengah jam lalu, dan Zaka dengan Reno masih bergulat dengan selimut.

"Kamu kesambet apa, sih, Kal? Biasanya juga ngabarin aku dulu." Namun, meskipun sudah sepakat, bibir Rena tak henti-hentinya mengoceh. Kala yang mood-nya lagi bagus cuma sesekali terkekeh, tidak ada niatan mengomel balik.

"Emang harus kesambet dulu, ya?" Kala menggaruk belakang telinga. Tidak tahu jika keputusannya akan menyebabkan Rena sebal berkepanjangan. "Aku udah kangen kamu bangett bangett bangett, masa harus nunggu persetujuan kamu dulu."

Kala pernah dengar, katanya, jika kita selalu memikirkan seseorang, dan mungkin menghabiskan banyak waktu untuk memikirkannya, besar kemungkinan kita mencintai orang itu. Bahkan, Kala sampai di titik senantiasa teringat Rena ketika akan atau bangun tidur. Setiap hal kecil selalu mengingatkannya pada Rena.

Misalnya saja kemarin malam, ketika Kala sedang merebus mie instan dan Bunda tiba-tiba memasuki dapur untuk memarahinya karena dua hari yang lalu Kala sudah makan mie. Di tengah-tengah kebisingan suara Bunda, yang Kala pikirkan justru Rena. Kala teringat ketika Rena bilang tidak apa jika Kala mengonsumsi mie setiap kali Kala ingin, yang penting selalu ada protein dan sayuran. Kala juga harus mempertahankan pola hidup sehatnya supaya mie itu tak berdampak buruk pada tubuh.

Sampai saking lamanya Kala melamun, Bunda terpaksa menghentikan ceramahnya untuk menyelamatkan mie Kala yang airnya meluap-luap keluar panci. Kondisi mie juga sudah terlalu mengembang karena kelamaan dimasak. Sehabis itu, kekesalan Bunda yang jadi berlipat pun menemani Kala menikmati mie bengkak itu masih dengan bayang-bayang Rena.

Saat bangun tidur pun begitu, yang pertama kali muncul selalu Rena, Rena, dan Rena. Hanya saja kemarin-kemarin dia masih mampu menahan diri dengan mencari kesibukan. Tapi hari ini rasanya berbeda, dia begitu menggebu-gebu ingin segera menemui Rena.

Menatap wajah planga-plongo Rena, mendengarkan suara manja Rena, dan yang paling Kala rindukan adalah pelukan hangat kasihnya. Dia tak peduli mau dianggap hilang akal atau kesambet karena pagi-pagi sudah heboh sendiri di depan rumah orang, yang terpenting Rena ada bersamanya.

"Minimal chat, kek! Biar aku nggak mandi dulu!" protes Rena tanpa mau menatap Kala yang berlari di sebelahnya.

"Iya ... besok-besok nggak akan mendadak lagi." Kala berujar malas. "Tapi nggak janji, hehe," imbuhnya.  "Kok kamu kayak nggak seneng banget, sih? Emangnya nggak mau ketemu aku?"

Mana mungkin. Rena senang, sangat. Dia senang Kala mengingatnya. Rena senang Kala merindukannya. Hanya saja dia terlalu sungkan mengatakannya. Rena merasa jika Kala tidak perlu tahu isi hatinya. Dia takut. Takut Kala semakin meremehkan perasaannya.

"Istirahat dulu, lah, Kal. Capek!" Maka dari itu, mengalihkan pembicaraan lebih baik untuk saat ini.

"Oh? Baru sebentar masa udah capek?"

Rena menatap Kala yang juga lagi menatapnya. "Emang baru sebentar?"

"Baru sepuluh menit, loh, sayang. Lihat, tuh, anak-anak itu mulai bareng kita masih semangat lari-larian. Masa kamu kalah."

FOOLAFFAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang