Dengan tenaga yang seperti baru disedot habis-habisan, Rena melemparkan tas sekolah ke ranjang secara asal, disusul merebahkan tubuh di sebelahnya tanpa mengganti seragam yang ia kenakan.
Diliriknya jam dinding lingkaran warna putih yang menghinggapi tembok di hadapannya. Sudah jam empat. Rena memijat pelipisnya yang terasa pening, kemudian mengatupkan matanya.
Padahal dia tak melakukan pekerjaan berat apa pun sewaktu di sekolah. Pelajaran juga belum, karena hari ini dikhususkan untuk membentuk struktur organisasi kelas dan membagi jadwal ini-itu. Tapi rasanya begitu lemas. Apa mungkin ini efek dari demam yang baru datang pagi ini?
Merasakan ada pergerakan di sebelah kirinya, dengan berat hati Rena membuka mata. Di sana ia melihat Reno yang juga baru saja merebahkan diri tanpa mengganti pakaian.
"Ngapain? Sana pergi!" tanpa perasaan, Rena mendorong pundak Reno biar lelaki itu pergi dan tidak mengganggu istirahatnya. Dia masih kesal pada adiknya atas apa yang terjadi hari ini. Tapi karena tenaganya yang memang sudah begitu minim, dorongannya tak berarti apa-apa.
"Maapin, elah. Sensi amat lo jadi orang," sungut Reno sambil menatap wajah pucat kakaknya.
Rena tak mengindahkan. Ia memilih bersedekap sembari menatap tanpa minat langit-langit kamarnya yang berwarna biru pastel. "Lo tuh, apa gunanya gue bantu siapin perkap-perkap lo sama pegang kunci motor lo biar nggak kena razia kalo ujung-ujungnya lo tetep dihukum? Gue udah antisipasi biar lo aman, ehh lo teteeep aja cari masalah. Nggak bermasalah sehari aja lo bisa meriang, ya?" Unek-unek Rena keluar tanpa dapat dicegah.
Dia sudah terlalu kesal. Sejak sehari sebelum MPLS, Rena sudah rela mengorbankan waktu santainya yang berharga buat membantu Reno menyiapkan perkap yang diperintahkan panitia biar Reno tak mendapat masalah selama kegiatan itu berlangsung. Sebab Reno juga tidak terlalu peduli pada hal-hal tersebut. Jadinya semua keperluan Reno, Rena yang handle.
Namun, entah masalah apa yang Reno buat hari ini, Rena jadi menginjakkan kaki di rumah dua jam lebih lama karena harus menunggu Reno menyelesaikan hukumannya. Rasanya sia-sia saja semua yang telah dia lakukan.
"Ck. Gue kan udah minta maaf! Lagian ini juga gara-gara temen lo yang sok iye. Babu aja belagu."
Rena menoleh cepat dengan dahi berkerut. "Temen yang mana?"
"Selingkuhan cowok lo, lah! Emang lo punya temen lagi selain tuh cewek songong?" sentak Reno sambil mengubah posisi menjadi duduk.
Gadis itu mencibir pelan. "Temen gue yang songong apa lo yang sok iye?"
"Ya kali gue!" Reno membalas ngegas. "Lo pikir aja, Kak. Gue nggak ngelakuin apa-apa, tapi dia bikin gue malu hampir di depan anak-anak seangkatan. Ya gue mana terima, lah! Orang gue nggak ngerasa ngelakuin kesalahan. Terus dia malah seenak jidat nyuruh bersihin kebon belakang. Dipikir gue tukang kebon apa."
Tadi ketika peserta MPLS disuruh mengelilingi seantero sekolah dalam rangka pengenalan lingkungan, Reno tak sengaja membuat salah seorang perempuan di regunya terjatuh ketika perempuan itu meminta Reno untuk membantunya berjalan. Sebab, waktu itu si perempuan entah bagaimana bisa terkilir, makanya jadi kesulitan melangkah.
Padahal saat itu Reno benar-benar tidak bermaksud. Dia hanya refleks menyentak tangan si perempuan karena perempuan itu bersikeras agar Reno membantunya. Padahal, laki-laki di regu mereka bukan hanya Reno. Masih ada Kala dan empat lelaki lainnya. Lagi pula, kalau urusan membantu jalan mah, sesama perempuan juga bisa, kan? Tak harus laki-laki, apalagi laki-laki itu dirinya.
Lalu, berhubung sewaktu keliling mereka didampingi oleh pendamping regu masing-masing, Lavi pun melihat kejadian itu dan berakhir memberi wejangan pada Reno di depan peserta MPLS yang sedang berkeliling di sekitar taman atas dasar woman support woman.

KAMU SEDANG MEMBACA
FOOLAFFAIR
Teen FictionKarena prinsipnya yang enggan menjadi pihak pemutus hubungan, Serena Zephyra harus menjalankan hubungan abu-abu yang tak jelas arahnya ketika perselingkuhan sang kekasih dengan sahabatnya terungkap. Di satu sisi, ia ingin melepaskan diri dari ikata...