Tak mungkin bila Rena tak sakit hati. Hubungannya dengan Kala memang belum selama itu, tapi Lavina? Entah sudah berapa banyak zaman yang telah ia lalui dengan gadis itu. Bahkan, Rena sudah menganggap Lavi seperti saudara sendiri, Lavi juga telah ia anggap sebagai sosok yang mampu mengisi segala celah yang ia miliki.
Misalnya saja sesederhana Rena yang terus mengeluh ketika mendapatkan tugas membuat kerajinan atau PKWU—Rena sangat buruk dalam hal berkreativitas—maka Lavi dengan luas hati memberikan jasanya untuk membantu Rena. Lavi itu bisa segalanya.
Lalu berkebalikan dengan Rena yang introver, Lavi adalah seorang ekstrover yang sering Rena andalkan untuk berinteraksi maupun bersosialisasi dengan orang banyak.
Pokoknya, Rena sudah merasa se-klop itu dengan Lavi.
Awalnya pun ia tak percaya pada pesan yang dikirimkan Alurra. Tapi ketika dia membuktikan sendiri dengan mendatangi lokasi di mana Alurra melihat Kala dan Lavi, ia akhirnya percaya jika kekasih serta sahabatnya telah berkhianat.
"Nggak guna banget lo nangisin orang kayak gitu. Diselingkuhin ya selingkuhin balik, lah. Nggak usah nangis-nangis segala. Alay." Sementara Reno sebagai satu-satunya orang yang saat ini bisa Rena curhati malah terus-menerus memakinya alih-alih memberi dukungan.
Boro-boro malah. Jangankan memberi dukungan, memberi kata penenang saja nampaknya adik beda dua tahunnya itu tidak sudi.
"Kok lo gitu, sih? Gue lagi sedih malah lo maki-maki! Minimal hibur gue." Rena berucap kesal. Aliran air matanya masih enggan berhenti. Dia juga yakin wajahnya sudah sangat memerah.
"Hibur ketololan lo? Ogah! Ketularan tolol yang ada."
Rena cemberut. "Gitu banget, lo! Sama kakak sendiri juga," katanya, sambil mengelap pipinya yang basah dengan kasar.
Sayangnya gerutuan Rena itu tak mampu melunakkan hati Reno. Rena pikir dia badut?
"Lupain prinsip nggak guna lo, nggak ada gunanya pacaran sama cowok kayak dia. Yang dia mau itu temen lo, bukan lo!"
"Semua aja lo sebut nggak guna!" seru Rena geram. Reno kalau tak bisa membantu memperbaiki perasaannya mending pergi sekalian. Bukannya malah merecoki begini.
"Emang!"
Rena berdecih sinis. Harus berapa kali Rena menjelaskan segala keuntungan dari prinsip itu? Tidakkah Reno ingat, Rena selalu selamat dari mantan-mantannya yang mengajak balikan karena Rena menegaskan bahwa mereka yang telah membuangnya—dia bukan sampah atau barang bekas yang bisa dengan mudahnya dibuang atau dipungut—dengan kalimat template itu, mantan-mantan Rena yang entah bagaimana selalu berengsek jadi putar balik.
"Gue itu nggak mau nyesel. Kalo ternyata gue cuma salah paham gimana? Kalo ternyata tadi Lavi sama Kala cuma lagi jalan biasa, atau Kala cuma lagi nanya-nanya soal MPLS gimana?" Rena berusaha menjelaskan. Selain ingin berpegang teguh pada prinsip, ia juga belum siap bila harus melepas Kala.
Soalnya, dibandingkan mantannya yang lain, Kala itu yang paling mending dan tidak neko-neko. Kala juga bukan perokok. Mencari lelaki seperti Kala itu sulit, sekalinya ketemu, pasti tak setampan Kala. Atau yang lebih parah, mereka tak mungkin sudi memacari perempuan sepertinya.
"Alah, bulshit! Mau nanya-nanya soal MPLS mah lo juga bisa. Meskipun lo bukan OSIS, tapi lo kan udah pengalaman."
"Jaman sekarang udah beda sama era gue. Kala pasti mikirnya Lavi lebih tau."
"Harus banget sampe batalin janji sama lo?"
"Ya tapi—"
"Tapi apa? Jadi orang jangan tolol kenapa, sih." Karena sudah terlampau kesal, Reno akhirnya melempar bantal yang menjadi sandarannya pada wajah Rena. Meskipun nampaknya ia butuh sesuatu yang lebih keras, supaya otak Rena bisa kembali ke posisi yang benar.

KAMU SEDANG MEMBACA
FOOLAFFAIR
Teen FictionKarena prinsipnya yang enggan menjadi pihak pemutus hubungan, Serena Zephyra harus menjalankan hubungan abu-abu yang tak jelas arahnya ketika perselingkuhan sang kekasih dengan sahabatnya terungkap. Di satu sisi, ia ingin melepaskan diri dari ikata...