17. pasar malam

9 3 0
                                    

Galau. Satu-satunya kata yang dapat mendeskripsikan perasaan Rena saat ini. Padahal niat Rena singgah di meja belajar adalah untuk mengerjakan tugas sejarah yang harus dikumpulkan besok. Namun, baru satu soal terjawab, pikiran Rena sudah meronta untuk berkelana.

Kala terus menghantui pikiran Rena, melebihi amukan guru sejarah yang akan Rena terima bila tugas tak dikumpulkan sesuai waktunya. Otaknya benar-benar enggan diajak negosiasi, terus saja menggemakan nama sang kasih seolah memaksa Rena untuk terus berpusat pada si lelaki.

"Kala mikirin gue juga nggak, ya?" Ia bermonolog sembari memainkan liontin gelang berbentuk angsa putih yang menggantung di lengan kirinya, tumpang tindih dengan gelang berliontin bulan sabit dililit bunga pemberian Rajev.

Lucu juga ketika teringat bagaimana Kala tantrum tidak jelas setelah tahu Rena memakai gelang pemberian laki-laki lain. Berakhir dengan Kala mengajak Rena ke toko emas untuk membelikan Rena barang serupa.

Kendatipun gelang pemberian Kala tidak semahal yang Rajev beri, Rena tetap senang. Gelang itu tetap sangat spesial. Apa lagi, kata Kala, dia punya alasan bulat mengapa memilih liontin angsa itu. Katanya, angsa sering ditambahkan dalam undangan pernikahan, jadi Kala berpikir jika angsa merupakan simbol cinta dan kesetiaan. Mana kata mba pemilik toko, angsa itu cuma kawin sekali seumur hidup. Jadinya Kala semakin bertekad agar Rena memihak pada pilihannya.

Angin tiba-tiba berembus kencang melalui pintu balkon yang tidak tertutup, seolah sengaja menyadarkan Rena jika ini bukan saatnya mengagumi Bendjamin Kalandra. Usaha sang angin berhasil. Rena kembali pada kegalauannya.

Helaan napas berat pun mengudara. Bullshit. Kala memilih simbol kesetiaan ketika dia terang-terangan berkhianat. Rena sadar posisinya kini menjadikannya terlihat bodoh. Rena sadar dan Rena tahu. Banyak yang bilang begitu padanya. Rena pun mengakui. Dia diam saja saat kekasih dan sahabatnya bercengkrama tepat di depan matanya.

Akhir-akhir ini banyak sekali orang mendatanginya untuk memberi nasehat atau sekadar menyuarakan bentuk kasihan. Rena tak tuli, dia tak begitu bodoh untuk memahami ucapan mereka. Namun, Rena masih tak tahu harus apa. Mengakhiri hubungan dengan Kala? Dia sudah mencoba dan Kala menolak. Menjauhi Lavi? Masa hanya karena laki-laki dia harus berpisah dengan sahabat sejatinya itu.

Selain dua saran itu, sebetulnya masih ada dua saran lagi yang belum Rena cicipi, yaitu menjauhi Kala dan merelakan Kala dengan Lavi, atau mencari pengganti Kala untuk membalas perbuatan lelaki itu.

Rena bisa saja mencoba dua saran tersebut lantaran sejujurnya dia juga lelah dimaki bodoh oleh orang-orang. Rena takut makian mereka jadi kenyataan. Namun ... keraguan masih betah singgah dalam hatinya. Masa seorang Serena Zephyra yang baiknya saingan sama ibu peri selingkuh? Apa kata dunia per-peri-an?

"Masa ibu peri turun kasta," keluh Rena bimbang. Kepalanya ia jatuhkan ke atas meja dengan wajah menyamping menghadap tirai pintu balkon yang melambai-lambai.

"Siapa yang turun kasta?" Hingga suara berat seorang lelaki sukses mengejutkan Rena. Kepalanya otomatis berputar ke sumber suara yang berlokasi di sisi kirinya.

"Papa?!" Rena memekik sesaat sebelum berhambur ke pelukan sang papa. Sudah sangat lama sejak Papa menyambangi kamarnya dan menemaninya belajar. Rena tak kuasa membendung kerinduan pada lelaki tercintanya itu.

"Aduh! Kamu diem-diem latihan bela diri? Tenaganya guede banget."

Rena terkekeh dalam dekapan Zaka. Itu hanya efek antusias berlebih. Rena yang klemar-klemer ini mana sanggup disuruh ikut bela diri yang awalannya saja sudah disuruh kuda-kuda bermenit-menit.

"Papa ke mana aja, sih? Akhir-akhir ini nggak ada waktu buat Rena!" hardik Rena saat pelukan sudah terurai. Kini ia ganti bersedekap seraya menatap garang Papa.

FOOLAFFAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang