25. tentang rasa

20 7 2
                                        

Bel pelajaran pertama sudah berkumandang sejak bermenit-menit lalu, tapi baik Alurra atau Lavi belum ada yang memunculkan batang hidung di kelas. Rena sebagai siswi paling dekat dengan keduanya pun diutus oleh guru yang mengajar buat mencari keberadaan mereka. Ponsel Lavi tidak bisa dihubungi, sementara Alurra malah meninggalkan benda itu di kelas. Jadinya mau tak mau Rena memang harus turun gunung.

Rena sudah menyambangi beberapa ruangan seperti ruang OSIS dan UKS, tapi ruang OSIS dikunci, lampunya  juga tidak menyala. Lalu di UKS tidak ada siapa-siapa selain petugas yang berjaga.

"Toilet nggak ada. Gue mesti cari ke mana lagi?" monolognya seraya keluar dari pintu utama toilet.

Ia melangkah pelan berniat ke kantin sambil mengamati sekitar. Telunjuknya bergerak teratur mengetuk-ngetuk dagu agar memudahkan berpikir.

Hingga langkahnya otomatis terhenti ketika berada di lorong dekat taman belakang sekolah. Tatkala melihat Rajev yang sedang duduk menunduk dengan kedua siku bertumpu pada lutut, sementara telapak tangannya menutupi wajah.

Otak Rena pun seketika penuh tanda tanya. Rasa penasarannya yang tinggi lantas membawa Rena mendekat, menyapa Rajev yang terlihat tidak baik-baik saja.

"Rajev?" panggil Rena pelan. Namun mampu membuat lelaki itu berjingkat sampai mengangkat wajah. Sehingga matanya yang memerah bengkak serta hidung semerah jambu air itu dapat tertangkap jelas oleh netra Rena.

"Ren ...." Rajev berkata dengan nada lemah. Matanya terus berpaku pada Rena yang rasa penasarannya kian menjadi.

"Lo kenapa?"

Air mata Rajev yang sempat berhenti itu kembali mengalir deras. Ia terus merutuki dirinya sendiri yang selama ini tak sadar dengan alibi Lavi. Dan dengan bodohnya membiarkan Lavi memanfaatkannya hanya untuk menuruti ego gadis itu. Karena justru di saat dia kacau seperti sekarang, Rena-lah satu-satunya sosok yang mau peduli. Kata 'kenapa' yang selama ini ia harapkan keluar dari bibir indah Lavi justru terucap oleh orang yang telah ia sakiti tanpa sadar.

"Gue bodoh banget ya, Ren?" Dia sudah tak peduli pada rasa malu karena sudah kedapatan menangis oleh seorang perempuan. Rajev sungguh tak tahu lagi harus bagaimana meluapkan segalanya.

Jika Lavi bukan perempuan, bisa jadi ia sudah memukuli gadis itu dengan membabi buta, melampiaskan kekecewaan serta rasa rasa bersalahnya. Sayangnya, Lavi perempuan. Itu hanya akan membuatnya benar-benar menjadi pecundang. Lagi pula di sini ia juga salah. Salahnya yang terlalu bodoh dan naif.

Dia sering meminta Rena untuk bertanya pada Lavi apa yang lagi Lavi inginkan, kemudian Rena teruskan padanya, dan Rajev akan berusaha memberikan sesuatu itu pada Lavi secepat mungkin. Berharap dengan itu Lavi mau menoleh padanya. Tapi nyatanya nihil, semua usahanya sia-sia dan tak mungkin berbuah lantaran rupanya Lavi tak menganggapnya lebih dari alat pemuas hasrat.

Rena menggigit bibir. "Apa ada hubungannya sama Lavi?"

Anggukan mantap yang Rajev tunjukkan tanpa pikir panjang membuat Rena sedikit paham. Meski sebetulnya ia juga jadi makin bingung tentang apa yang terjadi pada dua manusia itu sampai Rajev menangis begini.

"Lavi nyakitin lo?"

Kali ini Rajev menggeleng. Bukan gue, tapi lo, Ren. Laki-laki itu tiba-tiba bangkit. Menyeka wajahnya yang nampak kacau. Ia menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan.

"Gue minta maaf, Ren.

"Maaf buat apa?"

"Selama ini ternyata gue nggak sadar udah nyakitin lo. Gue terlalu bodoh. Sampai lo yang nggak tahu apa-apa harus jadi korban."

FOOLAFFAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang