03. lil bro

37 18 1
                                    

Rupanya, kesialan Rena tak cukup berhenti dengan diturunkan di lampu merah oleh orang yang baru dia kenal. Hujan tiba-tiba turun di perjalanan pulang. Bahkan ketika bus yang ia tumpangi berhenti di depan gang perumahannya, hujan tersebut tak kunjung reda.

Jadinya, mau tak mau Rena harus berlari menerobos karena waktu pun sudah menjelang malam. Dia tak mungkin menunggu hujan reda untuk berjalan ke rumah. Syukur-syukur hujannya memang akan reda dalam waktu dekat. Kalau tidak?

Rena berdecak. Terus membunyikan bel rumahnya karena sejak tadi belum juga ada yang membukakannya pintu. Tak tahukah mereka jika sekarang dia lagi kedinginan? Sudah bajunya basah, sepatu dan celananya kotor, gatal pula. Lengkap sudah penderitaan Rena sekarang.

"Iya, iya, sabar!" Seseorang dari dalam rumah menyahut, mengundang kerutan di dahi Rena muncul.

"Kok kayak suara Mama?" monolognya, seraya menatap bingung pintu yang masih tertutup rapat. Apa orang tuanya sudah pulang?

Pintu pun terbuka. Menampilkan seorang wanita berusia empat puluh tahunan dengan wajah masam. Mata Rena tak berkedip menatap wanita itu. "Mama udah pulang?"

"Belum! Ini arwahnya." Lina mendengus, "Jadi kamu yang dari tadi mainan bel?"

"Hehe ... iya," jujur Rena sambil menyengir. "Abisnya Rena mencet bel nggak ada yang denger! Nggak tau apa Rena lagi kedinginan di luar?"

Wanita yang merupakan Mama Rena itu memindai penampilan putrinya dari kepala hingga sepatu putih Rena yang sudah berubah kecokelatan. Dia mengernyit. "Kamu hujan-hujanan?"

"Bukan hujan-hujanan, tapi kehujanan. Tadi Rena lari dari depan sampe sini, jadinya basah semua."

"Alah, sama aja. Sama-sama hujan-hujanan," tegas Lina, kukuh pada pendiriannya. "Udah, ayo masuk! Katanya kedinginan."

Rena mengangguk, berjalan mengekori Lina sembari sesekali bergidik merasakan dinginnya udara. Ketambahan kakinya yang terasa seperti lagi berjalan di atas es tatkala menyentuh lantai seusai melepas sepatu.

"Reno mana, Ma?" tanya Rena sewaktu dirinya dan Lina tiba di ruang tamu. Lina duduk di salah satu sofa, sementara Rena masih berdiri tanpa ada niatan duduk. Kepalanya bergerak menganalisis sekeliling, mencari keberadaan Reno yang sejak tadi sulit dihubungi.

"Dapur." Wanita itu menunjuk pada arah dapur yang berjarak satu ruangan dari sini menggunakan dagu. "Kenapa nanyain Reno?"

"Nggak apa-apa. Rena cuma nanya." Aslinya Rena ingin protes pada Reno yang seperti menghilang saat dia butuh bantuan. Tapi dia berakhir mengucap jawaban lain karena tahu Lina akan mengomelinya jika ibunya itu tahu Rena menyusahkan Reno. "Oh iya, Ma. Reno sekolah di Nawasena?"

Lina mengangguk. "Reno maunya di sana. Mama sih terserah dia aja," katanya, sembari membuka ponsel.

"Kenapa Mama bolehin, sih? Mama kan tau, Rena nggak suka satu sekolahan sama dia!"

"Eeeh, jaga omongan kamu, ya! Emang kenapa nggak mau sesekolahan sama Reno? Toh, entar enaknya juga di kamu, berangkat-pulang nggak perlu naik ojek atau bus kayak biasanya. Justru aslinya malah Reno yang repot."

"Tapi, Maaa...." Rena menghentakkan kaki tak terima, netranya menyorot penuh permohonan pada Lina. "Reno tuh banyak tingkah! Dikit-dikit masalah, mana kalo Reno ada apa-apa yang dimarahin Rena. Pokoknya Rena nggak mau satu sekolah lagi sama dia!"

"Nggak usah protes. Mending mandi sana! Ganti baju. Dua hari lagi masuk sekolah jangan sampe kamu demam."

"Ishh! Tapi Reno-nya pindahin dulu!" Rena cemberut. Mamanya tak pengertian sekali. "Papa mana?"

FOOLAFFAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang