04. second sight

40 18 4
                                    

Hari ini merupakan awal tahun ajaran baru bagi Rena dan Reno, serta anak-anak lain yang memiliki jadwal serupa dengan mereka. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, pagi ini Rena tidak berangkat beramai-ramai dengan penumpang bus umum seperti biasanya. Kali ini dia hanya berdua dengan Reno, menunggangi motor kebanggaan lelaki itu.

"Kenapa dari sekian sekolah yang deket sama rumah, lo masuk Nawasena, sih? Emang nggak ada pilihan lain, apa?" sewot Rena di perjalanan guna melampiaskan kerusakan moodnya pada Reno yang tak ada habisnya membuat kesal. Mana perutnya keroncongan, semakin mendukungnya menumpahkan emosi ke Reno.

Tadi ketika sarapan, hanya karena Reno akan sekolah di tempat yang sama dengan Rena, Lina jadi terus berceloteh panjang lebar yang padahal intinya cuma awasi dan jaga Reno. Tapi penuturan Lina yang bercabang-cabang membuat Rena akhirnya kenyang meski nasi goreng buatan Lina baru dia makan dua suap dan berujung tak menghabiskannya. Sekarang Rena baru merasakan laparnya saat di perjalanan. Mana nanti ada upacara.

"Emang kenapa, dah? Sekolah lo bukan, yang bayarin sekolah gue juga bukan elo. Kenapa lo yang repot."

Rena mendengus. Padahal, kalau Reno mau sekolah yang dekat dengan rumah, ada sekolah lain yang lebih dekat dibandingkan SMA Nawasena. Lalu, jika Reno mencari sekolah yang prestasinya mentereng, Nawasena memang agak cocok, tapi tentu saja masih banyak yang lebih cocok. Lantas, kenapa harus Nawasena yang Reno pilih?

"Jelas repot, lah! Gara-gara lo sesekolahan sama gue, gue jadi nggak bisa bebas. Mana lo banyak tingkah. Entar kalo lo kenapa-napa gue yang kena!"

Di balik helmnya, Reno tertawa. Tawa yang membuatnya mendapat cubitan maut dari Rena. Apa Reno tak mendengar semua celotehan Lina saat di rumah tadi? Gara-gara Reno satu sekolah lagi dengannya, dia harus beralih menjadi bodyguard buat bocah itu lagi.

"Shh ... lo nggak inget pesen Mama tadi? Gue turunin mampus, lo!"

Rena langsung diam, teringat ucapan Lina yang mewanti-wanti Reno untuk menurunkannya di jalanan jika Rena banyak tingkah. Katanya, "Kalo Kak Rena nyusahin, tinggal aja di jalan, ya."

Dia cukup trauma diturunkan di jalanan. Takutnya Reno benar-benar akan menurunkannya seperti yang sempat Haga lakukan. Meskipun ia tahu Reno tak mungkin sampai hati melakukan hal itu padanya.

"Bercanda, elah. Mana tega gue." Tuh, kan. Reno langsung buru-buru berucap saat melihat kakaknya terbungkam. Namun sederet kalimat yang dia suarakan berikutnya lagi-lagi membuat pinggangnya hampir saja menjadi korban Rena. "Idup lo udah miris soalnya."

Beruntung, Rena cuma berdecak. Berdebat hanya akan semakin menguras tenaganya.

"Lagian gue cuma kepengin sesekolahan sama kakak gue, emang nggak boleh apa?" Reno melanjutkan lagi.

Rena tak merespons, memilih tetap diam hingga motor Reno terbebas dari ramainya lampu merah. Setelah itu baru ia berucap, "Sesekolahan apaan? Orang gue bentar lagi lulus."

"Itukan kalo lo lulus."

Plak!

"Anjing!"

***

Dugaan Rena benar, dia tidak kuat mengikuti upacara hingga selesai dan berakhir singgah di UKS. Sebetulnya mau Rena sarapan mau tidak pun endingnya bakal sama; dia pusing, lalu dibawa ke UKS. Soalnya, Rena itu tak sanggup bila harus berdiri lama, apalagi jika cuaca lagi panas seperti pagi ini. Makanya, selama dua tahun sekolah di Nawasena dan dari sekian puluh upacara yang dia ikuti, jumlah Rena mengikuti upacara hingga akhir masih dapat dihitung jari.

"Lo yakin beli beginian doang, Ren?" tanya Alurra, sewaktu melihat Rena kembali bergabung dengannya dan Lavi dengan hanya membawa semangkuk batagor dan segelas es teh manis.

FOOLAFFAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang