prolog; awal dari keabu-abuan

65 24 3
                                    

KalaKetemuan di tempat biasa ya, Na

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kala
Ketemuan di tempat biasa ya, Na.
Jam 5.
Sorry, aku nggak bisa jemput.

Dua bubble chat tersebut sempat membuat Rena kesal pada awalnya. Pasalnya, akhir-akhir ini Kala seperti tak pernah punya waktu untuknya. Jangankan untuk Rena, untuk lelaki itu tidur atau makan sepertinya pun tak ada. Jangan salahkan Rena yang berpikir demikian, salahkan saja laki-laki itu yang selalu bilang lagi ini lah, lagi itu lah, ketika Rena mengajaknya bertemu atau menanyakan kenapa chat-nya yang semalam tak kunjung mendapat balasan.

Lalu, sore ini tiba-tiba saja Kala mengirimkan pesan demikian. Rena yang tadinya ingin kesal karena Kala belakangan sering menghilang dan tiba-tiba datang mengajak ketemuan, malah jadi kegirangan karena akhirnya sang kekasih memiliki waktu untuknya.

Namun, karena ajakan Kala begitu mendadak ditambah dirinya yang tak bisa secepat itu bersiap, Rena hampir melewati waktu yang telah ditentukan Kala meskipun dia sudah mencoba buru-buru.

Ketika di jalan pun, fokus Rena hanya pada ponselnya, takut kalau-kalau Kala mengirimi pesan dan ia tak tahu karena ketidaksengajaan.

Krak!

"Hape guee!"

Teriakan histeris dari seorang lelaki yang dibarengi suara benda terjatuh menghentikan langkah Rena. Dia ingin bersikap tidak peduli dan terus berjalan, tapi rasa penasaran melebihi keinginannya untuk melanjutkan langkah. Sehingga alih-alih kembali melangkah lalu menyusul Kala yang mungkin saja sudah menunggunya di kafe sebelah taman ini, ia justru berbalik melihat apa yang baru saja terjadi.

Sewaktu berbalik, Rena menangkap kehadiran sesosok lelaki jangkung yang kelihatan sedang memungut sebuah ponsel dari beton taman.

Lelaki itu mendongak, matanya memancar penuh amarah pada Rena yang termenung memandangnya. "Woy, Mbak! Malah bengong. Tanggung jawab, nih. Hape saya rusak gara-gara Mbak!" kelakarnya, saat ponsel malang miliknya sudah berada di genggaman.

Rena menelan ludah. Layar ponsel itu nampak rusak parah. Sampai-sampai ketika ponsel itu diangkat oleh si lelaki guna memperjelas kerusakannya pada Rena, Rena tak dapat melihat pantulan dirinya di layar. Hanya retak jelas yang menjalar di mana-mana.

"Gara-gara gue?" tanya Rena dengan begitu pelan. Entah sudah terhitung berapa kali dirinya menelan ludah. Ia terus-terusan terbayang berapa banyak uang yang mesti dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan itu. Semoga saja ini cuma kecelakaan—maksudnya bukan dia yang membuat ponsel itu terjatuh. Sungguh, dia tak sanggup merelakan uang jajannya!

"Iyalah! Pake nanya. Nggak mungkin saya banting hape sendiri," sergah lelaki itu garang.

Bahu Rena seketika melemas. Tak bisakah lelaki itu berbaik hati padanya dan membiarkannya bebas saja? Sayangnya hal itu mustahil. Jika dia yang menjadi korban pun, pasti akan lebih galak dari laki-laki ini.

"Aduh, Mas. Saya minta maaf, ya. Saya nggak sengaja. Ini saya lagi buru-buru makanya jalan kurang hati-hati." Rena memohon dengan panik. Lagi ketakutan membuat Kala menunggu lama, mas-mas itu malah membuatnya semakin risau dengan wajah masamnya.

Lelaki berambut hitam agak kecokelatan itu berdecak, tangannya yang satu lagi mengacak-acak kesal surainya yang cukup panjang. "Buru-buru sih buru-buru, Mbak, tapi mata jangan ditinggal juga dong. Masa jalan selebar gini Mbaknya bisa sampe nabrak."

Rena yang perasaannya sudah campur aduk pun mendelik tidak terima. Hey! Dia juga tak sebodoh itu. Yang namanya buru-buru mana peduli pada hal-hal begitu? Lelaki itu bicara seolah-olah tak pernah buru-buru saja. "Maksud lo apa, hah? Lo ngatain gue nggak bisa ngelihat? Mata gue nggak berfungsi? Lo juga ngapain udah tau gue mau nabrak bisa-bisanya nggak ngehindar?"

"Kalau bisa, saya juga ngehindar, Mbak. Masalahnya posisi saya lagi membelakangi Mbaknya. Mana tau kalau ada buldoser yang mau nabrak."

Gadis yang kini mengenakan cardigan berwarna biru dengan beberapa bintang yang menghiasi bagian depannya itu lagi-lagi dibuat mendelik lebar-lebar. "Apa lo bilang?" murkanya sambil menyentak salah satu tangan si lelaki berwajah agak ganas itu yang kebetulan lagi dipakai buat memegang ponsel.

Krak!

Dan, untuk ke dua kalinya, Rena membuat benda mahal itu terpental di beton taman.

Ponsel yang malang.

"Yahhh, Mbaaakk! Jatuh lagi, kan!"

Rena meringis.

"Ya ... lo, sih! Coba kalau lo nggak ngata-ngatain gue...." Iya, kan? Iya, dong! Salah siapa nih cowok mulutnya lemes banget.

"Kenapa jadi saya?"

"Ck. Udah, ah! Siniin hape lo!" Setelah merebut paksa ponsel laki-laki itu, Rena mengeluarkan sebuah note dari tasnya, lalu mencatat sederet angka yang jika digabung akan membentuk nomor ponselnya. "Ini nomer hape gue. Lusa ketemu lagi di sini, jam lima!"

Usai membuat keputusan sepihaknya, Rena langsung melarikan diri, kembali mengejar tujuan awalnya—Asteria Café yang merupakan tempat di mana kini Kala singgah, yang posisinya hanya tersisa beberapa kaki darinya berpijak.

Suara si lelaki yang terus menerus memanggil namanya dan menanyakan ke mana ia akan membawa ponsel laki-laki itu pun tak ia hiraukan. Fokusnya hanya untuk Kala yang mungkin akan marah padanya.

Ponsel Rena tiba-tiba berdenting. Tetapi, bukan nama Kala yang muncul di sana, melainkan nama lain yang tak pernah ia kira akan mengiriminya pesan tak terduga, pesan yang sekaligus menghancurkan perasaan dan kepercayaannya pada seorang Bendjamin Kalandra serta Lavina—sahabatnya.

Alurra
Ren
*Send a picture
Itu Lavi sama Kala kan?
Mereka ngedate?

Nyatanya benar, Kala tak datang. Kekasihnya mengingkari janji yang telah lelaki itu buat sendiri.

Bersambung.
.
.
.

Rabu, 20 September 2023

FOOLAFFAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang