02. nostalgic

50 21 4
                                    

Rena menghela napas panjang. Untuk ke dua kalinya, ia kembali melihat Kala bercengkrama dengan begitu akrab bersama Lavi. Namun, kali ini bukan lagi di danau seperti dua hari yang lalu. Sekarang, dia melihat Kala dan Lavi melalui kaca Asteria Café dari taman yang ada di sebelahnya.

Bibir ranumnya menyunggingkan senyum pedih, menatap kembali room chat antara dirinya dengan sang kekasih.

Serena
Kal, bisa temenin aku ke konter gak?
Sebentar aja kok


Kala
Sekarang gak bisa
Aku lagi nganterin mama pergi

Rena baru tahu, kalau sekarang Tante Gantari sudah bereformasi menjadi remaja yang hanya terpaut dua tahun lebih tua dari anak pertamanya.

Keakraban dua orang itu seolah menjadi tamparan besar bagi Rena yang dua hari terakhir masih terus menegaskan jika ia hanya salah sangka. Beranggapan bahwa apa yang dia dan Alurra lihat adalah kesalahpahaman belaka. Kini, Rena pun semakin sadar, jika Kala memang telah benar-benar berkhianat. Sudah tak ada lagi alasannya untuk mengelak. Sebab nyatanya, apa yang ia lihat adalah faktanya. Dia memang sudah seharusnya merelakan Kala.

Reno benar, yang Kala mau itu Lavina, bukan Serena.

"Udah lama, Mbak?"

Gadis berkepang satu itu terlonjak. Kepalanya langsung menoleh pada seorang lelaki yang lagi menatap ke arah yang sama dengannya dengan kedua tangan dijejalkan ke saku celana.

Lelaki ini merupakan orang yang dua hari lalu ponselnya tak sengaja terbanting oleh Rena. Rena pikir, orang ini tak akan datang. Rupanya dia benar-benar muncul lagi di taman ini.

"Oy, Mbak!"

Lagi-lagi, Rena dibuat terperanjat oleh orang yang sama. Ia mendengus. Bagaimana kalau dia memiliki riwayat penyakit jantung?

"Saya tau saya ganteng, tapi jangan segitunya juga, Mbak."

"Geer! Orang gue nggak ngelihatin lo." Mulut dan realita memang tak selalu selaras.

Laki-laki itu tak salah saat mengatakan Rena terus menatapnya, karena faktanya memang seperti itu. Sejak mendapati kehadiran si lelaki, Rena seakan terjebak pada wajah rupawan di hadapannya. Rena jadi heran, perasaan waktu pertama kali berjumpa, laki-laki itu tak setampan ini.

"Geer gimana sih, Mbak? Orang arahnya ke muka saya." Laki-laki yang tingginya membuat leher Rena sakit karena harus mendongak ketika berbicara itu memutar bola mata. "Jadi mana hape saya?"

"Masih di konter. Katanya baru beres lusa."

Laki-laki itu mengerutkan dahi. "Kalo beresnya lusa kenapa Mbaknya nggak bilang? Kalo begini buat apa kita ketemuan? Buang-buang waktu saya aja!"

"Ngabarin pake apa? Gue aja nggak kenal sama lo. Gini-gini gue juga udah effort mau dateng ke sini, ya!"

Asal dia tahu, Rena sampai rela menjadi babu Reno seharian biar adiknya itu mau mengantarnya kemari. Sebab, karena uang jajannya dipakai untuk uang muka perbaikan ponsel, dia jadi tak punya sepeserpun duit buat sekadar pakai ojek atau transportasi umum.

"Lah, dipikir saya nggak effort juga?"

Rena berdecak. "Ya kan udah seharusnya gitu kalo lo mau hape lo balik."

"Terserah, deh. Jadi ini mau kapan ke konternya? Saya sibuk, ya, Mbak."

"Yang mau lama-lama sama lo juga siapa?!"

"Ya santai, Mbak. Siapa tau Mbaknya mau modus. Secara saya kan gantengnya nggak ketulung."

"Najong!" seru Rena sinis. "Ngomong-ngomong, nama lo siapa? Biar lebih gampang komunikasinya, nggak kayak gini. Gue berasa tua banget dipanggil Mbak mulu."

FOOLAFFAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang