7. Pengertian

0 2 0
                                    

Malik sudah berdiri di depan pintu, melihat cucunya dari kejauhan. Pria itu bersedekap dada, sebelum akhirnya menghentikan langkah Valerie. "Siapa dia?"

"Bukan siapa-siapa," jawab Valerie cuek.

"Val, kamu gak usah bohong ya sama Kakek!"

"Kakek kenapa sih selalu ngelarang Valerie? Pacaran gak boleh, ini itu juga gak boleh. Valerie cuman mau bebas Kek," bagaikan terterpa angin kencang. Malik tidak bisa berkata-kata lagi.

Perubahan Valerie begitu cepat, gadis itu bahkan tidak memberi aba-aba.

"Selama ini kamu selalu nurut sama Kakek, sekarang kenapa enggak, Vel?"

Valerie memalingkan wajahnya ke sembarang arah, tak lagi menatap sang kakek.

"Valerie!!" Malik meninggikan satu oktaf suaranya.

Bi Siti yang tengah berada di dapur langsung berlari keluar. Wanita itu takut terjadi apa-apa di luar. "Ini ada apa?" tanyanya.

Valerie bahkan tak menjawab pertanyaan dari bi Siti. Gadis itu pergi begitu saja, meninggalkan kakeknya dan bi Siti.

Setelah Valerie masuk, Malik terduduk di teras rumah. Bi Siti yang melihat itu langsung menghampiri majikannya. "Maaf Tuan, saya bukannya mau lancang. Ada apa dengan Valerie ?"

Malik menghelai napas panjang. "Bi, selama saya gak di rumah. Apa sikap Valerie seperti ini?"

"Dia baik-baik aja, cuman emang akhir-akhir ini saya juga merasakan perubahan dari Valerie. Dia juga udah lama gak cerita atau minta pendapat ke saya, Tuan. Terakhir kali dia cerita waktu kami jalan-jalan ke mall itu," bi Siti menjelaskan semuanya. Berharap mereka berdua bisa mendapatkan solusi yang baik untuk menghadapi sikap Valerie.

"Huf, kayaknya saya salah, Bi.  Mendidik dia terlalu keras, sedangkan anaknya gak bisa di kerasin."

"Ngomong sama Valerie itu emang gak bisa keras-keras, apalagi diusianya yang sekarang. Dia masih ingat mencoba hal-hal baru yang belum dia ketahui."

"Saya udah gak tau mau gimana lagi, Bi."

"Gimana kalo kita ngomong baik-baik sama dia. Karena menurut saya, kalo pake emosi juga percuma, Valerie keras kepala anaknya," kata bi Siti.

"Caranya gimana?"

"Serahin semuanya sama, saya."

Malik sangat percaya dengan bi Siti. Sudah lama wanita itu menjadi asisten rumah tangganya. "Baiklah, saya percaya sama Bi Siti."

Setelah membuat keputusan, bi Siti langsung menghampiri Valerie yang berada di kamarnya. Wanita itu mengetuk pintu sang pemilik kamar, namun belum ada respon. "Valerie sayang, boleh Bibi masuk?" tak ada suara, bahkan tanda-tanda untuk dibuka kan pintu pun tidak ada. Tapi bi Siti tidak menyerah begitu saja, ia terus-menerus memanggili nama Valerie. "Valerie, ayo bukain pintunya. Kita ngobrol yok, sayang."

"Valerie gak mau!" suara itu terdengar lirih. Tidak mendapat respon, bi Siti pun, segera mengambil kunci cadangan kamar Valerie.

Bi Siti berhasil membuka pintu kamar Valerie, saat ia masuk. Sosok Valerie tengah menangis di pojok kamar, bahkan gadis itu belum menganti pakaiannya. Bi Siti mendekat, lalu memeluknya dengan hangat. "Valerie, kamu gak boleh gitu. Bibi tau, kamu pengen bebas, tapi apa kamu pernah berpikir setiap larangan itu ada kebaikan."

Valerie melepas pelukan dari bi Siti. "Tapi, Bi. Valerie cuman mau kayak anak-anak lain. Mungkin dulu, aku ngerasa nyaman-nyaman aja di rumah. Tapi sekarang aku baru sadar, aku juga butuh hiburan seperti teman-teman aku."

Ini tidak biasa, benar-benar bukan Valerie. Sebisa mungkin bi Siti memberikan pengertian kepada gadis yang belum berusia 20 tahun itu.

"Sayang, dengerin Bibi. Gak semua yang kamu liat itu baik. Sekarang gini deh, Bibi mau tanya. Kenapa kamu tiba-tiba berubah? Apa semenjak kamu ...."

Valerie beranjak dari duduknya. "Semua itu gak ada hubungannya, Bi. Lagipula aku sama dia udah pacaran, jadi dia bisa jagain aku kalo aku lagi di luar," Valerie keceplosan mengatakan itu pada bi Siti.

Bi Siti ikut beranjak, menghadap Valerie. Tatapan matanya seperti mengintrogasi. "Pacaran? Kenapa kamu gak cerita sama Bibi?"

"Valerie bukan gak mau cerita, Bi. Cuman takut."

"Takut apa coba? Bukan apa-apa, sayang. Bibi cuman gak mau kamu salah pilih, apalagi kamu kan ...."

"Bi, nanti aku bakal kenalin Bibi sama dia kok, tapi gak sekarang."

Bi Siti tidak mengerti lagi dengan pikiran Valerie, gadis itu belum cukup dewasa untuk menjalin hubungan percintaan. Karena tidak ada cinta yang benar-benar tulus diusia belasan tahun.

"Bukan ke Bibi, tapi ke kakek kamu. Valerie, kamu gak pernah kayak gini sebelumnya. Apalagi sampai ngebantah kakek. Jangan pernah berubah karena kamu kenal dengan orang baru, sayang."

Valerie menundukkan kepalanya, merasa bersalah.  "Bibi benar, harusnya Valerie gak perlu kayak gini. Maafin Valerie, ya," mohonya.

"Temui kakek, minta maaf sama dia," seru bi Siti.

"Tapi Bi, aku ...."

"Val, kamu pernah gak ngebayangin kakek yang udah tua tapi masih bekerja?" Valerie menggelengkan kepalanya. "Nah, kalo kamu mikirnya ke sana, kamu gak akan ngelakuin sesuatu yang bikin dia sakit hati. Setelah kedua orang tua kamu pergi untuk selamanya, dia yang ngerawat kamu sendiri. Bagaimanapun dia usahain biar kamu gak ngerasa kekurangan sedikitpun."

"Bibi benar, aku harus jujur sama kakek. Mungkin dengan cara ini, kakek bisa ngertiin aku."

Bi Siti tersenyum, memeluk Valerie sebelum gadis itu keluar menemui sang kakek.

Malik duduk termenung dipinggir kolam, menatap air yang diam seperti dirinya. Terdengar suara seseorang yang bagitu familiar. "Kek," panggilannya.

Malik menoleh, terlihat sosok Valerie berdiri di sana. Masih diam, Malik tak bersuara sedikitpun. Gadis itu mendekat. "Kek, maafin Valerie," ucapnya. Gadis itu langsung memeluk sang kakek.

"Maaf, Valerie terlalu mikirin ego sendiri.  Harusnya Valerie gak ngomong kayak gitu sama kakek. Sekali lagi maafinn Valerie ya, Kek," pintanya.

Malik membalas pelukan cucunya. "Udah, Kakek gak marah sama kamu. Kakek cuman capek aja sama kerjaan," begitu sangat menyayangi cucunya, sampai ia tidak bisa marah pada gadis itu.

"Em ..., Kek. Ada yang mau Valerie bilang sama Kakek," masih takut mengatakan itu, tapi harus ia katakan. Valerie tidak ingin salah paham lagi dengan kakeknya.

"Kamu mau ngomong apa?"

"Kek, sebenarnya Valerie pacaran. Cowok yang tadi itu pacar aku," jujurnya.

Malik tidak langsung menyengkal ucapan cucunya. Ia membiarkan gadis itu mengatakan semuanya. "Terus?"

"Maaf kalo aku udah bohong sama Kakek, aku cuman mau ...."

"Kakek paham kok, kamu masih muda, perjalanan kamu tuh masih panjang banget. Kakek  cuman gak mau ketika kamu pacaran, kamu lupa segalanya."

"Aku janji kok, gak akan lupa. Dan aku juga janji, akan kenalin dia ke kakek dan bi Siti."

Malik tersenyum melihat wajah ceria cucunya. Meskipun ia belum setuju dengan cucunya yang sudah memiliki pacar.

Jangan lupa votmen guys 🤗💕

Ditulis, 07 Oktober 2024
Dipublish, 07 Oktober 2024.

Janji Palsu  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang