15. Kejutan

2 1 0
                                    

Deru ponsel Valerie berdering minta diangkat. Dari arah kamar mandi ia lekas bergegas menuju meja rias. Meletakkan benda pipih itu dekat telinganya.

"Hallo sayang, tumben nelpon jam segini. Ada apa?"

"Sayang, besok kamu bisa pergi ke rumah aku gak?"

"Ngapain aku ke sana? Kamu kan lagi di luar kota."

"Aku punya sesuatu untuk kamu, besok kamu ambil ya ke rumah. Aku udah bilang sama mamah kalo besok kamu mau ke sana."

Valerie diam sejenak, isi kepalanya langsung tertuju pada kotak kemarin. "Berarti kotak itu bukan dari Calvin, terus dari siapa dong?" gumamnya dalam hati.

"Sayang, kok diam sih?"

Seketika Valerie buyar dari lamunannya. "Ha? Enggak kok. Ya udah, besok aku ke sana deh."

"Nah gitu dong, semoga kamu suka ya sama hadiah dari aku."

"Apa pun yang kamu kasih, aku pasti suka sayang."

"Kamu bisa aja. Em, udah dulu ya, aku mau siap-siap dulu."

"Siap-siap ke mana?"

"Ada kerjaan sayang."

"Malam-malam kayak gini?"

"Iya, ya udah ya. Aku pamit dulu, dah sayang."

"Sayang aku ...."

Panggilan itu terputus sepihak. Perasaan Valerie jadi gelisah tak menentu. "Calvin kenapa ya? Gak biasnya dia kayak gini."

Ketika Valerie sedang bergelut dengan pikirannya. Suara bi Siti mengejutkannya. "Valerie! Turun kamu!" tidak biasanya suara itu melengking, kalaupun ia memanggil Valerie pasti dengan lemah lembut.

"Si bibi kenapa sih?" Ia segera beranjak dari tempatnya, lalu menghampiri bi Siti yang berada di bawah.

"Kenapa sih, Bi?" Wajahnya terlihat santai saat bertanya. Tapi tidak dengan bi Siti, raut wajah wanita itu tampak ketakutan.

"Ini apa? Kamu pesan ini?" Tanya bi Siti sambil menunjuk seekor kucing berbulu putih.

Valerie langsung menghampiri bi Siti, mengambil kucing yang tergeletak di lantai. "Udah datang ya paketnya? Ya ampun, lucu banget sih."

"Val, kamu kan tau Bibi takut kucing. Kenapa kamu beli sih?"

Gadis itu asik bermain dengan peliharaan barunya, sehingga ia mengabaikan perkataan bi Siti. "Val, kamu dengerin Bibi ngomong gak sih?"

"Ha? Iya kenapa, Bi?"

Bi Siti malas menghiraukan Valerie lagi, ia enggan mengulangi perkataannya. "Tau ah, mendingan Bibi pergi masak aja, daripada ladenin kamu."

"Masak apa Bi, malam-malam gini? Bukannya kita udah pada makan ya? Terus kakek juga katanya gak pulang, kan hari ini?"

Bi Siti lupa, bahwa tuannya sedang ada urusan mendadak. Jadi hari ini ia tidak bisa pulang. "Oh, iya, Bibi lupa. Ya udah deh, Bibi mau nyantai sambil nonton tv aja, bye," ucapnya seperti anak muda.

Valerie hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan bi Siti. "Gini nih, pas masa mudanya kurang gaul. Jadi pas udah tua baru gaul," kata Valerie.

Tentu saja bi Siti tidak tersinggung dengan perkataan Valerie barusan. Ia malah menjadikan hal itu candaan. "Nah, makanya sekarang Bi Siti mau menikmatinya, Val. Karena dulu, Bibi nikah muda. Jadi, masa gadis Bibi gak sepenuhnya Bibi jalanin. Diusia yang masih muda banget, Bibi harus ngurus suami dan anak," curhatnya.

Mendengar sedikit cerita tentang masa muda bi Siti, Valerie jadi penasaran. Gadis itu mendekat, duduk di sebelah bi Siti yang sedang sibuk menonton televisi. "Bi, cerita lagi dong. Aku mau dengar," pintanya.

Bi Siti menyetujui permintaan Valerie, tapi dengan satu syarat. "Boleh, tapi ada syaratnya."

"Syarat? Syarat apaan, Bi?"

Sorot mata bi Siti mengarah kepada kucing putih yang berada di atas pangkuan Valerie. "Jauhin kucing itu dari Bibi. Kamu kan tau, kalo Bibi takut kucing."

"Oh, ini? Oke, tunggu ya, aku mau naro dia di kandang dulu."

"Ya udah gih sana, Bibi juga mau ambil camilan buat teman nonton."

Benar-benar seperti keluarga sendiri, bahkan bi Siti tidak terlihat seperti asisten rumah tangga. Wanita yang berusia 58 tahun itu masih terlihat cantik, apalagi jika ia sudah berdandan, cantiknya tambah meningkat.

"Udah aku taro. Sekarang ceritain dong," desak Valerie.

Usai mengambil camilan, bi Siti langsung duduk kembali di tempatnya. "Iya, iya, ini Bibi ceritain."

Gadis itu duduk dengan tenang, matanya terus menatap wajah bi Siti.

"Zaman dulu, anak gadis yang sudah balik/menstruasi. Harus dinikah kan, hal itu dilakukan biar menghindari timbulnya fitnah."

"Maaf, Bi. Kenapa harus gitu?"

"Waktu itu juga Bibi kurang paham, tapi katanya demi menjaga nama baik keluarga makanya harus dinikahin."

Valerie mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan paham apa yang dikatakan oleh bi Siti. "Oh, gitu. Tapi ..., kenapa anak gadis dulu beda sama sekarang, Bi?"

"Beda dong, zaman sekarang kan udah moderen, terus undang-undang negara sekarang juga semakin ketat. Jadi kejahatan seperti itu bisa kena pasal kalo berani macam-macam, kan?"

"Benar juga sih, tapi kan Bi-"

Kalimat yang hendak Valerie lontarkan dipotong bi Siti. "Shut, jangan berisik lagi. Mendingan kita nonton sambil makan camilan," finalnya.

Tidak ada pilihan lain selain menuruti apa kata bi Siti. Toh, Valerie juga belum ngantuk. Jadi, ia memilih untuk menemani bi Siti nonton.

***

Pagi-pagi sekali Valerie sudah siap untuk melakukan perjalanan menuju rumah Calvin. Gadis itu izin dengan bi Siti yang tengah sibuk dengan tugas rumah tangganya. "Bi, Valerie pergi bentar ya."

"Eh, kamu mau ke mana?"

"Ada keperluan bentar. Oh, ya bilangin sama kakek nanti, kalo aku bawa mobil. Soalnya gak bisa kalo harus naik angkutan umum," pesannya.

"Nanti kalo dimarahin gimana?"

Gadis itu berjalan mendekati bi Siti, lalu mengusap bahu wanita itu dengan lembut. "Bibi tenang aja, aku yang akan tanggung jawab. Nanti aku bakal telpon kakek minta izin," ucapnya meyakinkan.

"Benar ya kamu? Bibi gak mau loh, nutupin lagi."

"Iya, Bi. Ya udah aku pamit dulu, dah Bi."

Bahkan bi Siti belum sempat membalas kalimat Valerie, tapi gadis itu sudah menghilang ditelan pintu.

Perjalanan yang cukup jauh ia tempuh, akhirnya sampai juga. Gadis itu belum berani turun dari mobilnya, ia masih mengamati lingkungan sekitar. Hingga akhirnya ia menelpon sang kekasih.

"Hallo, sayang aku udah di depan rumah kamu. Aku takut mau ngetuk pintunya."

"Udah, ketuk aja. Mamah ada di dalam kok."

"Ya udah deh."

Valerie mematikan panggilannya dengan Calvin. Gadis itu mulai melangkah mendekati perkarangan rumah keluarga Calvin. Detak jantungnya berdebar sangat kencang, ia gugup. Biasnya ia berkunjung ke sini bersama dengan Calvin, namun kali ini tidak.

Mau tidak mau, ia harus mengetuk pintu itu. "Permisi," panggilan pertama tidak ada sahutan. Valerie pun mencobanya lagi. "Excuse me, apakah ada orang?"

Terdengar langkah kaki kian mendekat. "Eh Valerie, ayo masuk."

Ditulis, 16 Oktober 2024
Dipublish, 16 Oktober 2024

Janji Palsu  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang