23. Penyelesaian

0 0 0
                                    

Seperti kesepakatan kemarin, usai kuliah Valerie langsung menuju cafe Cups Coffee. Sembari menunggu kehadiran Calvin, gadis itu mengerjakan tugas-tugasnya beberapa hari tertunda karena mood-nya yang berantakan. Tak cukup lama ia menunggu, sosok Calvin terlihat dari balik pintu.

"Itu dia," gumam Valerie.

Valerie tidak menatap Calvin seperti biasa ia menatap laki-laki itu berjalan ketika menghampirinya. Kali ini ia justru menundukkan kepalanya, ia sengaja menyibukkan diri di depan layar laptop.

"Sayang," panggil Calvin. Tidak menjawab. Valerie mendongakkan kepalanya ke atas, lalu kembali fokus pada laptopnya.

Kesal tidak ada respon dari Valerie. Calvin menarik jemari gadis di hadapannya itu. "Kamu kenapa sih? Aku ajak ngomong malam diam aja."

Valerie menjauhkan tangganya dari Calvin. "Kamu tanya aku? Harusnya aku yang tanya kamu. Katanya kamu sibuk, ya udah aku maklumi,  dengan cara aku juga mencari kesibukan, biar gak ganggu kamu."

"Maksud aku waktu itu bukan gitu, sayang. Aku emang benar lagi banyak kerjaan, bahkan sangking banyaknya minggu depan aku bakal pergi ke luar kota lagi."

"Kan kata aku, ya udah, gak papa. Aku maklumi, soal aku matiin handphone itu karena emang aku lagi gak mau diganggu siapa-siapa aja. Mau menikmati semesta," Valerie berbohong lagi soal perasaannya. Ia tidak ingin dianggap sebagai cewek yang gampang ngambek. Maka dari itu ia berbohong.

"Jadi, kamu gak marah sama aku?"

Valerie menggelengkan kepalanya, fokusnya kini teralihkan oleh seorang pelayan yang menghampiri meja mereka. "Hallo, Mbak Valerie dan Mas Calvin. Mau pesan apa?" tanya pelayan itu. Sangking seringnya berkunjung ke cafe ini, hampir para pelayan di sana hapal dengan kedatangan mereka berdua.

"Hai, Mbak. Em, aku mau pesan jus strawberry sama spageti. Kamu mau pesan apa, Cal?" tawar Valerie pada Calvin yang sedari tadi menatapi dirinya.

"Samain aja," balasnya.

"Oh, oke." Kini ia kembali fokus pada pelayan cafe. "Mbak, jus strawberry sama spagetinya dua ya. Oh ya, sama kentang gorengnya deh satu."

"Biak, ditunggu ya, Mbak." Valerie mengangguk mantap dan membiarkan pelayan itu pergi.

Calvin terus menatapi wajah Valerie. "Sayang, liat aku," serunya. Tapi kalimat itu tidak diperindah oleh gadis itu.

"Aku lagi sibuk ngerjain tugas," katanya.

Dalam hubungan ini, keduanya sama-sama egois. Meskipun begitu, Calvin masih mau menurunkan egonya, tidak seperti Valerie. Gadis itu tetap keras kepala, mungkin karena ia baru pertama kali menjalani sebuah hubungan. Jadi, ia masih kurang tahu bagaimana cara dalam menjalani sebuah hubungan dengan sifat yang berbeda-beda.

"Kemaren malam kita udah ngobrolin soal ini, kalo kita mau menyelesaikan masalah. Kita harus bisa nyari solusi yang baik dalam hubungan ini. Kamu jangan kayak gitu dong, sayang. Aku tau aku salah, makanya aku minta maaf sama kamu. Tapi kamu malah gini sama aku," ucapnya panjang lebar.

Valerie menghelaikan napas panjang, menutup laptopnya. "Oke, kita selesain di sini. Aku harap setelah ini gak ada lagi hal kayak gitu. Semisalnya kamu sibuk, ya udah gak papa. Lagian juga dunia kamu bukan cuman aku aja, kan?"

Calvin menundukkan kepalanya, lalu mendongakkannya kembali ke atas. "Sayang, aku tau kamu bersikap kayak gini karena kamu udah anggap aku rumah yang bisa kapan aja kamu datangi. Tapi, aku cuman pengen bilang sama kamu. Bersikap dewasa mulai dari sekarang, kita jalanin hubungan ini sama-sama, saling memahami satu sama lain. Jangan ada ego di antara kita berdua," meskipun sedikit kesal. Calvin bisa mengontrol emosinya. Ia tahu Valerie bukan orang yang tepat untuk dikasari. Karena keras kepala gadis itu bisa membuatnya melakukan apa saja.

Valerie diam, ia merasa kalau dirinya masih seperti kanak-kanak. "Maafin aku, aku cuman takut kehilangan kamu," ucapnya dengan suara kecil.

"Gak papa, ya udah sekarang kita makan yok. Makanannya udah datang tuh." Katanya sambil menunjuk ke arah pelayan yang tengah mengantarkan pesanan mereka.

***

Masalah sudah selesai, kini Valerie kembali semangat menjalani hari-harinya. Senyuman manis pun terpancar jelas dari kedua sudut bibirnya.

Seperti biasa, gadis itu selalu menganggu bi Siti saat menyiapkan sarapan. Ia ingin banyak tahu soal pekerjaan rumah tangga. "Bi, aku bantuin ya buat sarapan," katanya.

"Eh, gak usah, ntar kamu telat loh ke kampusnya."

Gadis itu terus berjalan menuju dapur. "Gak akan, Bi. Aku hari ini masuknya agak siangan, jadwalnya di ganti," balasnya.

"Oh, gitu. Ya udah kalo mau bantuin Bibi."

Valerie melihat beberapa bahan masakan yang belum ia ketahui, ia pun bertanya. "Bi, ini yang dimangkong kecil-kecil itu apa?"

"Yang mana?"

"Semua ini, Bi."

Bi Siti berjalan mendekati Valerie. "Oh, ini. Ini namanya bumbu dapur, siang nanti rencananya Bibi mau buat ayam kari," ucapnya.

"Ayam kari? Itu cara buatnya gimana, Bi? Aku mau dong belajar buat."

Nanti Bibi ajarin. Sekarang kamu potongin sawi gih," seru wanita itu.

"Untuk apa sawi?"

"Ngasih makan Dobi, ya buat masaklah. Kamu tuh ada-ada aja, Val."

Dobi adalah nama kucing yang waktu itu pernah Valerie beli. Semenjak ada Dobi di rumah bi Siti tidak merasa kesepian lagi jika tidak ada Valerie di rumah. Ia mencoba memberanikan diri untuk memegang Dobi, hingga akhirnya ia terbiasa. Dan, jika Valerie pergi seharian. Yang rawat Dobi bi Siti.

"Oh, kirain. Setau aku Dobi gak suka sayuran."

"Kucing kamu emang gak suka sayuran, tapi sukanya duit. Makanya, Val,  kalo beli kucing tuh liat dulu latar belakangnya. Biar gak matre kayak si Dobi." Valerie tertawa mendengar tuturan dari bi Siti.

Dobi memang suka menemukan duit di kamar Valerie, kucing putih itu membawanya ke bi Siti sambil digigit. Mungkin dia hanya ingin nitip ayam 1kg pas bi Siti belanja.

"Udah ah, gak usah bahas si Dobi. Mending kita masak, em aku mau buatin udang pedas manis kesukaan kakek ah. Buat dia makan siang di kantor nanti."

"Ingat, kakek gak boleh makan udang banyak-banyak, korestrol," ingat bi Siti. Wanita paruh baya itu langsung pergi setelah memberitahu Valerie.

Keduanya di sibukkan dengan tugas masing-masing. Kini masak menjadi kegemaran Valerie.

Hening, tidak ada suara selain perkakas dapur yang menimbulkan bunyi. Hingga akhirnya suara Valerie kembali terdengar. "Enak ya kalo pinter masak itu. Nanti, kalo udah punya suami gak perlu bingung lagi."

"Val," panggil bi Siti.

"Iya, Bi."

"Bibi mau ngomong sesuatu sama kamu, mungkin ini agak sakit ya, Val. Tapi lebih baik sakit sekarang daripada nanti," katanya.

"Bibi mau ngomong apa?"

"Jangan terlalu berharap, takutnya kamu kecewa, dan gak bisa kontrol diri sendiri."

Ditulis, 25 Oktober 2024
Dipublish, 25 Oktober 2024

Janji Palsu  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang