38. David kenapa?

1 1 2
                                    

David mundur menjauh dari sang abang. Lelaki itu membela diri, ia tidak ingin disalahkan terus menerus. "Abang duluan yang mulai, Mah," bela David.

Wanita setengah baya itu menarik pelan putra bungsunya, membisikkan sesuatu pada lelaki itu. "Udah ya, Dav. Mending kamu bawa Valerie keluar sebentar boleh? Mamah mau ngomong sama Abang kamu," pinta wanita itu.

Tanpa pikir panjang lagi, David segera menarik pergelangan tangan Valerie. Mengajak gadis itu keluar dari sana. Valerie yang bingung dan tidak tahu apa-apa, ia hanya bisa mengikuti langkah David. Entah mau ke mana lelaki itu membawanya. Saat sudah menjauh dari perkarangan rumah, David melepaskan genggaman itu.

Tidak ada yang memulai bersuara, hingga akhirnya Valerie memutuskan untuk bertanya pada David. Meskipun ini bukan situasi yang tepat untuk bertanya. "Em, Dav. Maaf, aku tau ini bukan waktu yang pas, tapi kalo boleh tau. Kamu sama abang kamu kenapa?"

David melirik ke arah Valerie, lalu kembali menatap ke arah depan. "Saya lagi malas bahas itu," hanya kalimat itu yang keluar dari mulut David.

Valerie mencoba memahami situasi lelaki itu, tak banyak omong lagi. Ia duduk di samping David, memeluk lengan kiri lelaki itu. Mendapati pelukan hangat dari Valerie, David merasa lebih baik. Gadis itu penenang dari amarahnya.

"Val, banyak hal yang pengen aku bagi sama kamu. Tapi ..., aku gak tau harus mulainya dari mana," gumam lelaki itu dalam hati.

Keduanya hanya menikmati malam yang sunyi, dengan suara angin yang terdengar samar-samar. Suasana yang nyaman untuk bersantai, seperti yang sedang mereka lakukan sekarang.

Valerie tidak bisa diam terlalu lama, gadis itu kembali bersuara. "Dav, kita di sini sampai kapan?"

David menundukkan sedikit kepalanya, menatap ke arah Valerie. Wajah mereka sangat dekat. Deg-degan Valerie dibuatnya, gadis itu segera menjauhkan dirinya dari David. "Eh, maaf," lontarnya.

"Gak papa, kita pulang aja yok. Udah malam juga, takut kamu dicariin. Tadi kan saya udah janji sama bi Siti untuk gak bawa kamu kemalaman," katanya.

Tak banyak omong lagi, Valerie pun menyetujuinya. Sebelum pulang, David menghampiri sang ibu untuk berpamitan, begitu pun dengan Valerie yang berada di sisinya.

"Mah," panggilnya. Wanita setengah baya itu menoleh ke belakang, menatap ke arah putra bungsunya.

"David." Segera ia berlari dan memeluk putranya. "Maafin Mamah ya, harusnya Mamah dukung cita-cita kamu, bukan malah ...."

David meletakkan telunjuknya di dekat bibir sang ibu, mengisyaratkan agar wanita itu untuk diam dan tidak mengatakan apa pun lagi. "Mah, udah ya, jangan dibahas lagi. Yang udah terjadi biarlah terjadi," kalimat itu seperti obat bius untuk banyak orang agar menjadi tenang.

"Tapi Mamah, udah ...."

"Udah Mah, jangan dibahas lagi, please. Aku cuman mau pamit pulang, kasian Valerie kalo kemalaman. Dia juga pasti capek banget hari ini," ungkapnya.

"Dav, kamu ...."

"Aku bakal sering ke rumah ini kok, buat liatin Mamah," janjinya.

Apa yang bisa wanita itu tahan? Putra bungsunya atau keluarganya? Ia tidak bisa memilih, ia tidak ingin kehilangan salah satu di antara mereka. Tapi ..., tidak ada pilihan lain.

"Hati-hati ya sayang." David mengangguk sebagai jawaban. Sebelum mereka berdua melangkah pergi dari rumah, sang ibu berpesan kepada Valerie. Gadis yang David kenalkan sebagai pacarnya. "Valerie, Tante titip David ya. Tolong, jaga pola makannya, dia kadang suka sakit kalo telat makan. Dan ...," kalimat itu berhenti saat suara David terdengar sedikit keras.

"Mah, kata aku udah!"

Tak banyak basa-basi lagi, David segera membawa Valerie pergi dari rumahnya. Di sepanjang jalan, lelaki itu hanya diam. Valerie ajak ngomong pun tak ia sahuti. Ini pertama kalinya Valerie melihat David murung, selama ini ia menutupi segala lukanya dengan rapih. Berusaha untuk baik-baik saja di saat duni sedang hancur itu, sangat menyakitkan.

"David pasti kepikiran sama keluarga, sebenarnya dia kenapa sih? Apa yang buat dia gak mau pulang ke rumahnya sendiri?" batinnya. Banyak pertanyaan yang bercabang dalam benak Valerie, gadis itu butuh jawaban yang pasti.

"Sayang, kita minggir dulu ya di dekat abang tukang nasi goreng itu, aku lapar," pintanya. Ini pertama kalinya Valerie manggil 'sayang'. Dari selama mereka jadian, Valerie selalu memangil nama seperti biasa.

Sontak David menghentikan motornya. "Ya udah, kamu makan dulu," serunya.

Gadis itu tersenyum hangat, ia bahagia. Meskipun mood David sedang tidak baik-baik saja, lelaki itu masih mau mendengarkan dirinya.

"Kamu mau juga gak?" tawarnya.

"Nggak, kamu aja."

"Beneran? Tapi kamu gak boleh telat makan loh. Kata Mamah kamu tadi, kamu harus ...," kalimat yang hendak Valerie ucapkan dipotong oleh David.

"Iya, iya, saya makan. Dah ya, jangan bawel lagi," katanya. Mendengar itu Valerie tersenyum senang. Segera gadis itu memesan dua nasi goreng sepesial.

"Bang, nasi goreng dua ya, yang sepesial."

"Siap, Mbak. Silahkan duduk dulu ya."Valerie mengangguk dan kembali ke tempatnya.

Sembari menunggu nasi goreng datang. Valerie mencoba mengajak David ngobrol, gadis itu hanya tidak ingin melihat wajah kekasihnya murung. Toh, selama ini David memberinya semangat untuk bangkit lagi dari keterpurukannya, pasca ditinggal nikah kala itu.

"Sayang, kamu—"

"Cie manggil sayang, biasnya juga David. Tumben, kenapa?"

Sepertinya Valerie menarik niatnya untuk menghibur David, lihatlah lelaki itu begitu sangat menyebalkan. "Dahlah, aku malas sama kamu," ambeknya.

"Cie ngambek, jangan gitulah. Ntar cantiknya ilang loh," goda David.

"Apaan sih kamu, gak usah tegur-tegur aku ya!"

"Aaa sayang, ngambek nih ya?" David membuat Valerie tertawa. Sulit bagi Valerie untuk marah pada lelaki itu.

Tiba-tiba raut wajah Valerie seperti orang yang hendak menginterogasi. "Dav, jujur sama aku. Sebenarnya kamu kenapa? Aku tau, aku gak berhak ikut campur sama urusan kamu, tapi aku gak mau kamu mendam semuanya sendiri. Aku juga gak tau, seberapa lama kamu ninggalin rumah."

David menghelai napas panjang. Ia belum siap menceritakan siapa sebenarnya dirinya, tapi Valerie terlanjur tahu.

"Menurut kamu, saya salah langkah gak?"

Valerie mengerutkan keningnya bingung. "Maksudnya? Aku gak paham apa maksud kamu."

"Jadi gini, ayah saya seorang dokter. Dan ..., abang ngikutin jejak ayah. Tapi, saya gak mau."

"Gak mau kenapa?"

"Saya punya mimpi, saya lebih suka musik daripada harus pusing dengan alat-alat kesehatan," katanya.

"Lalu?" obrolan mereka semakin menarik. Valerie seperti ingin tahu banyak hal tentang David.

"Lalu, saya pergi dari rumah. Dan mulai bermusik, sampai akhirnya saya ditawari kerja di cafe Cups Coffee. Bahagia rasanya, seenggaknya saya gak harus hidup dijalanan jadi gembel."

Ditulis, 10 November 2024
Dipublish, 10 November 2024

Janji Palsu  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang