18. Perubahan Calvin

2 1 0
                                    

Setelah semua kerjaannya selesai, Calvin segera kembali ke Jakarta. Tapi ia tidak memberitahukan hal itu kepada orang tuanya, apalagi Valerie—pacarnya. Lelaki itu pulang begitu saja, tanpa mengabari lebih dulu.

Panggilan dari Valerie masuk ke log panggilannya, tapi tak ia hiraukan. Fokusnya tertuju pada jalanan. 

Di tempat lain,  Valerie tengah mondar-mandir tidak tentu arah.  Sampai bi Siti menegurnya.  "Val, kamu kenapa sih? Dari tadi Bibi liatin bolak-balik gak jelas, ada apa sih?"

Valerie menatap ke arah bi Siti, berjalan mendekati wanita itu. "Huf, jadi gini, Bi. Aku telponin Calvin dari tadi gak diangkat-angkat juga. Aku, kan khawatir," ucapnya memberitahu. 

"Kamu khawatir sama dia boleh. Tapi jangan berlebihan, karena apa yang kamu pikirkan maka itu lah yang akan terjadi. Bisa aja kan, dia lagi sibuk sama kerajaannya."

Helaian napas panjang Valerie terdengar. Gadis itu terlihat sangat lelah, tapi tidak tahu apa yang membuatnya secapek itu. Ia beranjak dari duduknya. Pergi begitu saja, melihat hal itu bi Siti langsung bertanya.

"Kamu mau ke mana, Val? "

"Jalan-jalan bentar ngilangin suntuk," jawabnya.

"Jalan-jalan ke mana? Hari hujan gini juga."

Gadis itu berbalik badan menatap bi Siti sejenak. "Bentar doang Bi, lagian kan, aku pake mobil," balasnya.

"Val, bukan berarti kamu dibolehin bawa mobil lagi sama kakek. Jadi seenaknya, ya," bahkan bi Siti tidak segan-segan menegur Valerie. Meskipun ia seorang asisten rumah tangga. Bi Siti punya tanggung jawab atas Valerie jika Malik sedang tidak berada di rumah.

Mendengar omelan bi Siti, wajah gadis itu terlihat lesu. Bukan Valerie namanya jika tidak bisa meluluhkan hati bi Siti.  Ia mendekati bi Siti, lengannya sudah berada dipundak wanita paruh baya itu. Dengan senyuman manis, ia meminta izin dengan baik-baik. Tak lupa dengan rayuan manisnya agar bi Siti mengizinkan dirinya. "Bi Siti yang paling cantik seantero kota Jakarta, izinin aku pergi bentar aja. Tapi, kalo gak boleh juga yah gak papa, mau gimana lagi, kan?" Raut wajahnya semakin dibuat lesu.

Jika Valerie sudah bertingkah seperti itu, apa boleh buat selain mengizinkannya. "Oke, Bibi bakal ngizinin kamu—" kalimat bi Siti dipotong Valerie, padahal ia belum selesai bicara.

"Hore, aaaa makasih Bi Siti. Bibi tuh emang paling the best banget deh." Katanya sembari mencium kedua pipi bi Siti secara bergantian.

Sebelum gadis itu melangkah, bi Siti langsung berkata. "Ets, jangan senang dulu. Bibi punya aturan juga ya, ini sudah jam 15.12, kamu harus sampai rumah jam 17.00. Telat dikit, kamu tau kan, apa yang akan Bibi lakuin?"

Valerie menghelai napas sembari tersenyum. "Iya Bi Siti, aku akan pulang tepat jam 17.00. Oke, kalo gitu aku pamit ya, Bi. Dadah, love you," katanya. Gadis itu memberikan kis bye pada wanita yang tengah menatapi kepergiannya.

"Gadis nakal," gumam wanita itu.

***

Hujan turun sangat deras, mereka seperti sedang balapan siapa yang jatuh lebih dulu. Meskipun hujan, tak membuat Valerie mengurungi niatnya untuk ke cafe tempat biasa ia menghilangkan penat karena tugas kuliah,  dan tempat di mana kebahagiaannya dan Calvin tercipta. Cafe itu menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka.

Saat tiba di sana, gadis itu langsung berlari masuk ke dalam. Dan memesan secangkir cappuccino. Dari balik jendela, ia bisa melihat betapa indahnya alam semesta.

Ketika ia mengamati luar, tiba-tiba sorot matanya mengarah pada seseorang yang ia kenal, apakah mungkin itu dia?

"itu beneran dia bukan sih? Kalo bukan, tapi kok mirip banget," gumamnya.

Matanya mengarah ke pintu masuk, ia ingin memastikan bahwa psnglihantanya itu tidak salah. Dan ....

"Calvin? Itu beneran dia?" Tidak ingin membuang waktu lama lagi, Valerie langsung menghampiri tempat duduknya. 

"Calvin, kamu kok ada di sini? Bukannya kamu ...."

Benar, itu Calvin. Saat keberadaan Valerie di sana ia kebingungan sendiri. "Eh, kamu. S-sayang,  kamu ngapain di sini?" Terlihat jelas, ketika ia berucap seperti ada sesuatu yang lelaki itu sembunyikan.

"Yang harusnya nanya kayak gitu aku, bukan kamu. Bukannya kamu masih di Malang ya? Kok tiba-tiba di sini? Waktu itu bilangnya belum bisa pulang karena masih banyak projek. Tapi,  kok ...."

Calvin segera menghentikan kalimat Valerie. "Em, sayang. Mendingan kita duduk sambil ngobrol, yok! Gak enak diliatin sama orang-orang." Tidak membantah, gadis itu hanya mengikuti apa kata pacaranya.

Keduanya pun larut dalam obrolan, tapi rasa curiga Valerie masih mengebu-gebu. Meskipun Calvin sudah menjelaskan semuanya, firasatnya  mengatakan seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh lelaki itu darinya.

Perubahan Calvin sudah bisa Valerie lihat dari gerak-gerik tubuh lelaki itu. Hingga akhirnya, apa yang sudah ia pendam dari tadi keluar. "Sayang, kamu kenapa sih? Aku perhatiin dari tadi kayak orang gelisah gitu. Ada masalah? Cerita dong sama aku."

"Ha? Gak kok sayang, aku baik-baik aja. Mungkin karena kecapean, kan aku nyetir sendiri dari bandara ke sini," balasnya.

Valerie tidak yakin dengan jawaban yang Calvin berikan. Ia masih penasaran dengan perubahan laki-laki itu. "Benar-benar bukan Calvin yang aku kenal dulu, pasti ada sesuatu yang dia sembunyiin dari aku,"  batinnya.

Seperkian detik kemudian, lelaki itu pamit pulang dengan alasan capek ingin istirahat. "Sayang, aku duluan gak papa, kan? Badan aku pegal-pegal semua, butuh istirahat," ucapnya.

Tidak ada pilihan lain selain membiarkan laki-laki itu pergi. Meskipun begitu, Valerie tahu bahwa Calvin sangat capek. Ia hanya tidak ingin egois dalam sebuah hubungan yang sedang ia jalani.

"Iya sayang, kamu hati-hati di jalan ya. Nanti kalo udah sampai jangan lupa kabarin aku."

Tanpa berbasa-basi lagi, lelaki itu langsung beranjak dari tempatnya. Bahkan ia meninggalkan gadis yang sudah hampir 3 tahun bersamanya, seorang diri. Ada apa dengan Calvin?

Valerie menghelai napas panjang. "Kenapa dia tiba-tiba berubah sih? Apakah ada sesuatu di sana yang gak aku tau? Tapi apa ya?"

Terlalu lama berpikir, sampai Valerie lupa akan janjinya dengan bi Siti. "Ya ampun, aku harus cepat-cepat pulang. Gawat nih kalo telat semint doang."

Usai membayar, gadis itu segera menggahampiri mobilnya. 

Pikiran tentang Calvin benar-benar membuatnya kesal. Dirinya terlalu memikirkan hal yang belum tentu terjadi. "Gak, gak, dia cuek pasti cuman kecapean aja. Gak mungkin dia mau macam-macam di belakang aku.'

Sekuat tenanga ia mencoba untuk berpikir positif, ia teringat tentang kalimat yang bi Siti ucapkan. 

"Kamu khawatir sama dia boleh. Tapi jangan berlebihan, karena apa yang kamu pikirkan maka itu lah yang akan terjadi. Bisa aja kan, dia lagi sibuk sama kerajaannya."

Ditulis, 19 Oktober 2024
Dipublish, 19 Oktober 2024

Janji Palsu  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang