30. Undangan pernikahan

5 0 0
                                    

Baru pulang dari rumah sakit, sebuah undangan diterima oleh Valerie. Calvin benar-benar melupakan janjinya dulu.

"Non, ini ada yang ngater undangan kemaren," kata pak Ferdi.

Valerie mengambil kertas undangan itu dari tangan pak Ferdi. "Makasih ya, Pak," ucapnya.

David yang masih berada di samping Valerie berucap demikian. "Kalo gak kuat, jangan datang. Itu bakalan buat kamu tambah sakit," saran David.

Valerie tersenyum samar. "Gak papa, aku bakalan datang."

David hanya bisa diam, ia tidak punya hak untuk melarang Valerie. "Ya udah, seterah kamu. Mau aku temenin?"

Dengan senang hati Valerie menerimanya. "Boleh."

Keesokan harinya, Valerie sudah mengenakan baju terindahnya, gadis itu duduk di depan teras menunggu David datang.

Saat menunggu David, bi Siti keluar dengan membawa ember dan gayung. Biasanya, saat bi Siti bertingkah aneh seperti itu, Valerie pasti menegurnya. Namun, kali ini tidak, ia cuek dan fokus pada ponselnya. Gadis itu benar-benar kehilangan dirinya yang ceria. Bi Siti hanya bisa pasrah, ia tidak tahu cara apa yang harus ia lakukan untuk mengembalikan Valerie seperti dulu lagi. 

"Kasian banget kamu, Val. Dulu Bibi udah wanti-wanti soal ini, tapi kamu gak mau dengerin apa kata Bibi," gumam bi Siti.

Tak lama kemudian, David datang dengan motor andalannya. "Hallo, Val, Bi," sapanya.

"Hallo, nak David," sapa balik bi Siti.

"Ayo berangkat," ajak Valerie.

David pun menyetujuinya. Tapi, saat hendak pergi, bi Siti menghentikan mereka berdua. "Eh, tunggu bentar. Pake mobil Valerie aja, kalo pake motor, Valerie kan pake dress."

Valerie pun berpikir demikian, ia segera masuk ke dalam untuk mengambil kunci mobilnya. "Kamu tunggu bentar ya," serunya.

Ketika Valerie masuk ke dalam, bi Siti berbincang-bincang sedikit dengan David. "Nak David, Bibi boleh minta tolong gak?"

"Minta tolong apa, Bi?"

Bi Siti diam sejenak, ia tidak tahu harus mulai cerita dari mana. "Bibi bingung sama Valerie sekarang, dia gak seperti dulu lagi. Dia gak peduli dengan sekitarnya, padahal sebelumnya gadis itu orang yang paling peduli soal orang-orang sekitarnya. Dan, dia lebih banyak mengurung diri di kamar,  gak mau diganggu sama siapapun."

David perihatin melihat bi Siti, sepertinya wanita itu benar-benar sedih dengan perubahan Valerie sekarang.

"Bi, saya akan berusaha bantu Valerie sembuh. Mungkin ini butuh waktu lama, tapi percaya deh. Dia pasti bisa kayak dulu lagi," yakin David.

Bi Siti mengangguk mantap. "Makasih ya, nak David. Bibi titip Valerie tolong jagain dia," pesannya.

"Iya Bi, pasti saya jagain kok."

Tiba-tiba Valerie keluar dengan kunci yang ia mainkan di tangannya. "Yok berangkat," katanya tanpa basa-basi lagi. David beranjak mengikuti langkah gadis itu.

"Bi, aku pergi dulu," pamit Valerie, gadis itu melengos masuk ke dalam mobil.

"Iya, hati-hati ya sayang."

***

Seperti kehilangan arah, Valerie hanya menatap kosong ke arah depan. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Angan-angannya kini telah sirna, berharap dirinya yang berada di sana, tapi kini dirinya hanya menjadi tamu undangan saja.

Sakit, tapi tak berdarah.

Sorot mata David tak berhenti menatap Valerie, ia jadi kasihan dengan gadis itu. "Val, aku tau gimana perasaan kamu sekarang. Tapi, aku juga gak tau harus berbuat apa," ucapnya dalam hati.

"Val, mau pulang sekarang?" tanya David.

Valerie menoleh ke arah laki-laki itu. "Bantar lagi ya," balasnya.

David pun menunggu gadis itu, sampai akhirnya Valerie memutuskan untuk pamitan dengan Calvin sebelum pulang. "Dav, aku pamitan bentar ya. Kamu mau ikut?"

Tentu saja David tidak menolaknya, ia sudah berjanji pada bi Siti untuk menjaga Valerie. "Boleh, yok."

Valerie dan David pun naik ke atas pelaminan. Valerie menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan dirinya agar bisa mengontrol emosi. Senyuman palsu pun gadis itu perlihatkan kepada keluarga besar Calvin.

"Selamat ya, semoga jadi keluarga yang bahagia. Dan, semoga kamu bisa menepati janji apa pun yang kamu bilang sama istri kamu kelak. Gak kayak dulu pas sama aku." Sindir Valerie sembari tersenyum manis pada Calvin.

Calvin hanya bisa tersenyum juga. Padahal dalam hatinya, ia sangat ingin memeluk gadis yang berada di hadapannya untuk terakhir kalinya. "Makasih ya, makasih juga kamu udah nyempetin diri buat hadir." Gadis itu hanya tersenyum sebagai respon.

Lalu langkahnya beralih menyalim orang tua Calvin. Terlihat wajah sendu dari ibunya Calvin, wanita setengah baya itu seperti masih berharap kalau Valerie yang menjadi menantunya. "Hai Valerie, maafin Calvin ya. Tante benar-benar gak nyangka kalo endingnya bakalan gini," mohon wanita itu.

Valerie memeluknya dengan erat, menguatkan wanita setengah baya itu. "Gak papa, Tante. Emang bukan jodohnya, yang penting aku bahagia banget bisa kenal orang kayak Tante. Makasih ya, Tan, udah baik sama aku selama ini."

Wanita itu tidak bisa menahan air matanya lagi, ia menangis di dalam pelukan Valerie. Para tamu undangan menatap ke arah mereka, seperti momen bahagia sekaligus sedih. Valerie menepuk pundak ibunya Calvin dengan pelan. "Udah Tante, jangan nangis lagi. Kita kan masih bisa ketemu nanti," pintar sekali gadis itu menyembunyikan lukanya dan menguatkan orang lain.

David menatap ke arah Valerie, tidak menyangka bahwa gadis itu bisa menahan air matanya. Padahal dirinya sendiri sangat rapuh.

Calvin bergumam dalam hati. "Valerie, jika waktu bisa diulangi lagi. Aku gak berharap bisa bertemu sama kamu, aku juga gak akan ngucapin janji itu, tapi pada akhirnya aku yang mengingkarinya."

"Val, yok." Ajak David. Valerie mengangguk, segera ia pergi dari tempat itu setelah berpamitan.

Di sepanjang perjalanan, Valerie menumpahkan semua air matanya di dalam mobil, ia tidak sekuat yang orang-orang lihat. "Kenapa harus aku? Kenapa?! Aku berusaha jadi yang terbaik, tapi aku malah jadi gini akhirnya," isak gadis itu.

David mengelus puncak rambut Valerie, mencoba memberikan ketenangan pada gadis itu. "Val, gak semua orang yang kamu temui bisa jadi orang yang kamu harapkan. Terkadang, banyak orang yang datang hanya memberikan kekecewaan, jadi jangan terlalu berharap dengan apa yang belum seutuhnya menjadi milik kamu."

Valerie kehabisan tenangnya untuk berteriak lagi, kini suaranya terdengar pelan. "Tapi kenapa harus aku? Aku udah berharap lebih sama dia, dia yang udah buat aku kayak gini."

"Setiap luka pasti ada obatnya, jadi setiap kesedihan pasti terselip kebahagiaan di sana. Untuk sekarang kamu hanya butuh ikhlas."

"Ikhlas gak semudah yang orang-orang bilang."

"Kata orang, ikhlas itu bohong, yang ada hanya terbiasa tanpa adanya dia lagi di samping kita." Valerie menatap David sejenak, lalu kembali fokus ke depan.

Ditulis, 02 November 2024
Dipublish, 02 November 2024

Janji Palsu  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang