22. Awal dari semua masalah

2 0 0
                                    

Valerie benar-benar mematikan ponselnya, bahkan ketika bicara dengan sang kakek ia meminjam ponsel milik bi Siti. Di situ bi Siti hanya bisa diam, ia tidak ingin banyak bertanya.

Usai menghabiskan waktu semalaman di tempat camping, Valerie dan bi Siti memutuskan untuk pulang. Mereka hanya berkemah satu malam saja.

Di sepanjang perjalanan pulang, raut wajah Valerie masih terlihat kesal. Gadis itu sebelumnya tidak pernah seperti ini. Apakah memang cinta serumit itu?

Hingga tiba di rumah, ia langsung masuk ke kamar tanpa ingin menemui siapa-siapa. Malik yang melihat kelakuan cucunya hanya bisa bertanya kepada bi Siti.

"Bi, Valerie kenapa? Kok mukanya cemberut gitu?"

Bi Siti mengedikan kedua bahunya. "Saya kurang tau, dari kemaren handphonenya aja dimatiin."

Malik curiga, seperti ada yang tidak beres dengan cucunya. Pria paruh baya itu menghampiri Valerie yang berada di kamar. Ketukan pintu terdengar, namun sang empu belum juga membukakan pintu.

"Val, bukain sebentar. Ada yang mau Kakek omongin sama kamu," suara lemah lembut seperti ini jarang Malik keluarkan. Jika sudah begini, pasti ia ingin bicara serius dengan cucunya.

"Bentar Kek," balasnya dari dalam.

Pintu terbuka sempurna, lalu langsung ditutup begitu saja. Valerie mengajak kakeknya untuk turun ke bawah, ngobrol di ruang televisi saja. "Kek, kita ngobrolnya di bawah aja ya. Kamar aku berantakan banget," elaknya.

Malik paham bagaimana cucunya ketika sedang kesal. Ia pun menuruti maunya Valerie.

Malik masih menatap lekat ke arah cucunya, ia masih belum mengatakan apa pun pada cucunya. Memang akhir-akhir ini ia jarang sekali memperhatikan cucu satu-satunya, karena ia sibuk bekerja. Ada di rumah pun hanya malam, itu juga tidak sempat ngobrol bareng.

"Val, are you oke?" kalimat itu spontan keluar dari mulut Malik.

Valerie yang tengah sibuk nonton televisi, langsung menatap ke arah samping. Tepat di mana tempat kakeknya duduk. "Yes, I fine, kek."

"Sure?"

Gadis itu menampakkan wajah gembiranya, meskipun saat ini ia sedang merasa tidak baik-baik saja. Deru ponsel Valerie terus menjerit minta diangkat, setelah ia memikirkan semuanya, akhirnya gadis itu memutuskan untuk mengaktifkan kembali ponselnya.

Gadis itu penasaran, ia pun membuka room chatnya dengan Calvin

Calyu (Calvinnya aku)

Sayang
Yang
Ya ampun Yang
Kamu ke mana sih?
Masih marah sama aku? Aku minta maaf Yang 🙏😭
Yang, gak ada kabar loh dari kemaren kamu ke mana aja?

Kenapa?

Calvin mengirim pesan sepanjang harapan orang tua, tapi Valerie balasnya singkat seperti hubungan author, hehhe.

Seperkian detik kemudian suara panggilan video berdering, Valerie lekas izin pada kakeknya untuk kembali ke kamar sebentar. "Em, Kek, aku mau ke kamar dulu ya," pamitnya.

"Mau ngapain?" tanya Malik kepo.

"Ada deh, mau tau aja urusan anak muda," katanya diselipi sedikit candaan.

Ketika Valerie pergi, Malik dan bi Siti ngobrol bersama. Membahas tentang sikap Valerie yang akhir-akhir ini sering murung tidak jelas, jika ditanya gadis itu pasti selalu jawab tidak papa.

"Bi, saya perhatikan belakang ini Valerie sedikit banyak diam. Dia kenapa?"

Bi Siti menghelai napas panjang, ia pun tidak tahu. Belakang ini Valerie sangat sulit dipahami. Seolah kian lama Valerie yang dulu kian menghilang dalam diri gadis itu. "Saya juga bingung, sekarang Valerie jarang banget cerita sama saya. Biasanya tiap pulang dari kampus dia selalu punya cerita untuk dibagikan bersama. Tapi, belakangan ini gak ada. Tiap saya tanya kenapa, dia selalu masuk kamar atau pergi jalan-jalan."

"Sepertinya saya salah, Bi. Saya terlalu sibuk kerja sampai gak merhatiin dia lagi. Sebenarnya saya juga ...," Malik tidak lagi melanjutkan kalimatnya. Jika diingat-ingat rasanya sakit.

"Taun, kita di sini udah semaksimal mungkin untuk buat dia bahagia. Mungkin dia punya masalah di luar yang gak pernah kita tau."

Malik memijat pelipisnya, ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Mendekati Valerie memang harus pelan-pelan, ia sedikit keras kepala. Jika dikerasi, maka gadis itu akan melakukan hal yang sama.

Sedangkan di dalam kamar, Valerie sedang berdebat dengan Calvin. Gadis itu tidak menyangka jika dalam sebuah hubungan ada masalah seperti ini.

"Aku udah berusaha buat kamu bahagia, tapi kamu malah gini sama aku," suara Calvin dari sebrang sana terdengar letih.

"Iya, aku tau. Makanya aku pergi sementara waktu biar gak ganggu kesibukan kamu."

"Tapi kan, solusinya bukan kamu harus pergi dan matiin handphone."

"Terus aku harus giaman? Kamu aja sibuk dengan urusan kamu, jadi aku harus apa, Cal?"

"Ya kamu tunggu aku dong, ini malah ngilang. Kesannya di sini kamu egois tau."

Valerie mematikan kameranya, beralih pada panggilan suara. "Nunggu? Sampai kapan? Sampai kamu bilang kalo claein kamu udah pulang, iya? Aku bukan egois, tapi aku mengimbangi diri. Kamu sibuk, ya udah aku juga menyibukkan diri. Daripada aku gangguin kamu yang lagi kerja, kan."

"Ya tapi, kan ..., gini aja deh, kita ketemu besok, gimana?" pintanya.

"Oke, aku bakal ke cafe biasa. Kamu gak usah jemput aku, aku bisa sendiri ke sana."

"Tapi kamu kan, pacar aku. Masa aku gak boleh jemput kamu."

"Bukan gak boleh, tapi kita kan mau menyelesaikan masalah. Aku gak mau sampai kakek atau bi Siti curiga." .

"Aku minta maaf ya, aku terlalu si—"

"Aku maklumi kamu, udah dulu ya. Aku mau ngerjain tugas," itu hanya alasan klasik. Valerie tidak ingin berlama-lama lagi. Ia sudah tidak tahan membendung air mata yang sedari tadi ingin jatuh.

Tanpa menunggu jawaban dari Calvin lagi, ia segera mengakhiri perbincangan itu. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, sorot matanya menatap langit-langit kamar. "Ternyata dewasa itu gak mudah ya. Hubungan yang aku pikirkan tidak seperti yang sedang aku jalani sekarang, semakin hari semakin rumit."

Ia bangun dari tidurnya, mengacak-acak rambutnya. "Argh, kenapa gini sih? Aku pikir dia benar-benar bisa membuatku selalu bahagia. Tapi malah jadi gini, apa aku yang kurang memahami dirinya yang sibuk ya?"

Valerie dibuat bingung, ia tidak tahu arah hubungannya mau dibawa ke mana. Semua berawal dari masalah sepele yang menjadi besar. Hanya masalah waktu.

Perasaan Valerie saat ini campur aduk, ia ingin menangis tapi tidak bisa. Gadis itu memutuskan untuk tidur lebih awal. Jika ia terus-menerus duduk dan memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi, akan lebih memperkeruh masalah. Sekarang ia hanya butuh menunggu waktu esok untuk bertemu dengan Calvin dan segera menyelesaikan masalah itu.

"Huf, daripada aku overthingking terus, mending aku tidur aja." Katanya lalu mematikan lampu tidur.

Ditulis, 24 Oktober 2024
Dipublish, 24 Oktober 2024

Janji Palsu  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang