12 - Isagi dan Monyet

41 6 0
                                    

12. ISAGI DAN MONYET

Halaman belakang rumah Rana tampak ramai. Ke-empat teman Jayden yang tak lain adalah Mahes, Sean, Sandy, dan Dante secara dadakan datang untuk meminta menginap dengan alasan besok adalah hari libur. Kedatangan mereka juga membawa beberapa macam sosis dan lainnya untuk dibakar. Tentu, Bunda dan Ayah menyambut hangat kedatangan mereka. Ke-empatnya sudah mereka anggap seperti anak sendiri karena dulu, hampir setiap hari mereka selalu menyempatkan mampir sehabis pulang sekolah.

Sedangkan Rana, selalu misuh-misuh setiap berhadapan dengan teman-teman abangnya itu. Menurut Rana, satu saja yang modelan Jayden sudah cukup lelah dihadapi, dan sekarang, tambah empat lagi yang pasti membuat polusi suara semakin meledak-ledak.

"OUCH!" Dante berjingkat kaget saat api di panggangan tiba-tiba berkobar besar. Cowok itu mengatur napasnya. "Hampir nyawa melayang euy."

"Gagal dapet nasi kotak deh." Sandy menyeletuk sambil tangannya memasukkan sosis ke tusukan.

"Orang-orang kayak lo nih, yang dirinduin pedangnya Umar bin Khattab." Dante bersungut-sungut, tapi tetap mengupayakan agar api menyala dengan semestinya. Dia melirik iri ke arah api di panggangan Sean yang tampak baik-baik saja.

"Kita kan belom tahun baru, kenapa bakar-bakar?" Rana yang duduk di bangku pendek bertanya bingung.

Jayden memakan beberapa sosis mentah menyahut, "Gak apa-apa dong Rana jijay, baru juga lewat delapan bulan, masih bisa tahun baru lah itu."

Rana memutar bola matanya, malas menanggapi ucapan Jayden. Matanya menoleh ke sana-sini. Di teras belakang rumah, Ayah dan Mahes sibuk beradu catur. Mahes adalah satu-satunya orang yang Ayah anggap tangguh dalam bermain catur. Setiap melihat Mahes, tangan Ayah selalu gatal untuk mengajak Mahes bertanding.

"Skakmat!" Mahes berseru antusias, sedangkan Ayah menepuk dahinya. "Kebobolan om, harusnya tadi pion ya yang maju. Yaudahlah, ulang lagi, Mahes! Kali ini om yang bakal menang."

"Siapa takut om? Gaskeunn!" Mahes balik menantang.

Jayden, manusia tak berguna itu, duduk di sebelah Sandy, mencomot sosis yang seharusnya Sandy tusuk-tusuk. Beberapa kali Sandy mengeluh, menyeretnya menjauh.

Dan Bunda, terlihat sibuk mengoleskan bumbu-bumbu pada ayam yang hendak dibakar.

"Rana, bantu Abang Sean sana," kata Bunda sambil memalingkan muka menatap Sean yang seorang diri membakar ikan. Wajahnya tenang, sama sekali tak terusik dengan yang lain. Tiba-tiba Rana jadi prihatin, ini pasti pengaruh diputusin pacarnya semalam.

Rana berdiri dari duduknya, menghampiri Sean yang sibuk membakar ikan tak jauh dari yang lain. Begitu tiba di sebelah Sean, Rana berjongkok, memerhatikan wajah Sean.

"Kenapa?" tanya Sean tanpa mengalihkan pandangannya dari panggangan.

"Aku mau ikut bantu dong, Bang." Dan hanya pada Sean, Rana selalu mengingat sopan santun, dan dia juga sangat menghormati Sean sebagai orang yang lebih tua. Itu karena Rana merasa hanya Sean yang tak pernah menjahilinya. Hidup laki-laki itu lurus, membuat Rana agak segan. Bahkan dulu, Rana selalu berdoa bahwa ternyata Sean adalah kakak kandungnya, dan Jayden tak sengaja ketukar waktu bayi di rumah sakit ketika Bunda melahirkan.

"Duduk aja, biar Abang yang bakar." Begitu kata Sean. Rana menampilkan raut sumringah, dia menurut duduk di sebelah Sean tanpa banyak berbicara. Dia kagum bagaimana Sean bisa begitu fokus dengan dua ikan di depannya, sementara yang lain ada saja hal yang diributkan.

"Abang semalam beneran putus?" tanya Rana, agak hati-hati.

Sean mengangguk. "Iya."

"Nggak sedih?" Rana bertanya lagi.

LOVE HATERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang