"Hai..." sapa Leon dengan senyum yang lebar saat gilirannya tiba untuk mendapat pelayanan Kantor Pos. Dia menyodorkan amplop yang sudah bertuliskan alamat di tengah Pulau Jawa dan dibubuhi perangko yang dibeli di toko milik seorang Tionghoa. Surat itu disodorkan pada seorang gadis yang jadi tujuannya datang sendiri ke Kantor Pos itu, Imah. Leon memanfaatkan kesempatan bertemu itu untuk memandang Imah lebih lekat.
Kali ini Imah tersenyum tipis. Kemudian mencatat alamat tujuan surat. Dia juru tulis di Kantor Pos itu. Sesekali Imah melirik ke arah pengirim surat yang sedari tadi memandangnya sambil senyum-senyum sendiri. Gadis itu kembali membaca nama penerima surat, kemudian memandang lelaki pengirim, "Lastri Dirdjokoesoemo."
"Ibuku," timpal Leon menerangkan, masih sambil menyungging senyum. Seperti memperjelas kalau nama perempuan itu bukan teman, saudara, kekasih, tunangan maupun istrinya. Imah harus tahu kalau dia masih 'sendiri'.
Imah mengangguk, menyelesaikan tugasnya. Setelahnya dia berucap dengan lantang karena Leon masih berdiri di depannya, "Antrian selanjutnya!"
"Ah, sebentar," ucap Leon gugup. Dia tidak sadar kalau waktunya bertemu dengan Imah sudah habis. Dia cepat-cepat mengeluarkan amplop lain dari kantongnya. Ujarnya, "Ini untukmu."
"Apa ini?" Tanya Imah, bingung.
"Bacalah nanti."
Imah hanya mengangguk kecil, masih bingung. Dia harus melanjutkan pekerjaannya, sudah banyak tatapan tajam orang-orang yang menunggu giliran. Atap kantor pos yang tinggi dan lapang membuat bangunan itu nyaman, tapi menunggu beberapa lama tetap membuat kesal. Dan Leon masih bertahan terpaku di hadapannya. Seperti enggan beranjak.
"Ada perlu apa lagi?" Tanya Imah, lagi.
"Tolong balas," pinta Leon.
Tapi Imah tidak mengangguk ataupun menggeleng.
Leon tidak menunggu jawaban karena dia masih ada pertanyaan, "Ahm... Jam berapa kau pulang?"
Imah tidak menanggapi pertanyaan Leon, "Maaf, antrian lainnya sudah menunggu."
"Ahm... Imah..." Leon berusaha mengulur waktu di Kantor Pos itu.
Tapi.... "Leon! Apa yang kau lakukan di sini?" Seorang laki-laki memandangnya dengan heran, "Mestinya kau bisa menyuruh pelayanmu."
"Pieter?"
Laki-laki itu kemudian tersenyum simpul, "Ah... kau rupanya gadis yang membuat seorang Tuan Leon jatuh hati. Kau memang manis." Pieter mengakhiri kalimatnya dengan mengedipkan sebelah matanya. "Pantas saja dia menolak pe..."
"Pieter, apakah urusanmu sudah selesai?" Potong Leon.
Wajah Imah menunjukkan keheranan sempurna pada ucapan laki-laki Indo lain di hadapannya. Tapi gadis itu senang karena kehadiran laki-laki itu berhasil membuat Leon akhirnya beranjak dari antrian.
"Ingat, aku tunggu balasanmu," ucap Leon menyempatkan bicara lagi pada Imah sebelum beringsut dari hadapan gadis itu.
"Wah, sudah tunggu menunggu rupanya," ledek Pieter.
"Tuan Pieter," ucap Leon keras dan tegas. Tidak mau laki-laki itu berbicara lebih banyak. Hal itu membuat si pemilik nama menarik dagunya, heran. Tidak biasanya Leon begitu. Kemudian Leon menarik Pieter berjalan ke arah pintu keluar Kantor Pos itu, sambil basa-basi bertanya, "Apakah kau sibuk hari ini?"
"Ahm... urusanku baru saja selesai."
"Bagaimana kalau kita...." Leon tidak melanjutkan kalimatnya, dia memang tidak bermaksud untuk membuat rencana dengan Pieter. Dia hanya ingin laki-laki itu lekas enyah dari hadapan Imah. Mereka berjalan keluar diikuti dua orang pelayan Leon yang baru saja menyelesaikan obrolannya dengan pelayan lain yang sedang menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
General FictionCerita dengan latar jaman kolonial. Ceritanya fiksi, tapi kolonialismenya nyata.