Ronald mengendarai motornya dengan malas. Menelusuri jalanan yang padat di jam makan siang. Kurang tidur membuat matanya terasa begitu berat. Hari yang terik membuat mata itu silau dan semakin mengantuk. Tapi dia harus pulang.
Sepanjang jalan, dia kembali mengingat cerita panjang dari saudaranya yang tiba-tiba datang. Cerita tentang leluhurnya yang katanya kaya raya. Cerita yang sering diulang dalam pertemuan dengan keluarga besarnya. Konon hartanya tidak akan habis untuk tujuh turunan.
Ronald mendengus kesal. Entah siapa yang membuat perumpamaan itu. Dia kesal karena dia menjadi keturunan kedelapan. Sial. Dia tidak lagi menikmati harta yang diceritakan itu.
Selama ini Ronald tidak peduli dengan cerita itu. Bahkan menganggapnya sebagai isapan jempol belaka. Tapi, tagihan setiap awal bulan yang mencekiknya membuat dia mengingat cerita itu.
Ada bagian cerita, dimana konon kakek dari kakeknya itu menyimpan harta leluhurnya di suatu tempat. Sama seperti yang diceritakan Mas Andi. Seperti yang ditanyakan Liesbeth pada Leon, kakek dari kakeknya. Sayangnya, seperti yang cerita Mas Andi yang terpotong, tidak ada yang tahu dimana harta itu disimpan. Mungkin sudah dibagikan ke anak, cucu, buyutnya, mungkin juga masih tersembunyi di suatu tempat. Tidak ada yang tahu.
Di awal bulan seperti ini, Ronald dibayangi penyesalan. Kenapa dia tidak pernah bertanya pada kakeknya selama ini. Di saat dia membutuhkannya, kakeknya sudah sulit berbicara.
Ronald kembali kesal. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia mempercepat laju motornya. Sudah tidak tahan dengan panas matahari yang semakin menyilaukan. Dia ikut berebut ruang di jalanan yang padat.
Pintu gerbang yang cukup tinggi dibuka oleh seorang perempuan. Suara besar motor Ronald menjadi penanda kehadirannya. Seperti petunjuk otomatis untuk membukakan gerbang tinggi itu. Sehingga Ronald bisa langsung masuk.
Perempuan itu menunggu Ronald turun dari motornya. Setelah laki-laki itu membuka helm yang menutupi seluruh kepalanya, perempuan itu berkata, "Mas Ronnie, Bapak sudah menunggu di kamar."
"Makasih, Bi Ani," Ronald hanya mengangguk, lalu menuju ruangan yang ditunjukkan perempuan yang sekarang mengikuti langkah Ronald memasuki bangunan besar itu, rumahnya.
Ronald menghela napas panjang saat memasuki rumah besar itu. Dia kembali teringat dengan tagihan listrik, air, internet bahkan urusan sampah juga dia membayar. Belum lagi pajak besarnya. Dia berjalan dengan lesu. Merutuki nasibnya.
Ronald mengetuk sebuah pintu kamar, lalu membuka pintu itu. Sebuah kamar besar dengan satu lukisan di dinding yang bisa langsung menarik mata untuk memperhatikannya. Lukisan seorang laki-laki berwajah Eropa dengan perempuan pribumi yang sedang memegang payung dan menggendong seorang anak laki-laki.
Ronald mendapati kakeknya sedang duduk di kursi roda di depan pintu yang terbuka ke arah balkon. Dia mendekat ke arah kakeknya, mencium tangan laki-laki tua itu seraya berkata, "Maaf Opa, tadi aku ketemu Mas Andi dulu." Ronald tidak menceritakan lebih lanjut.
Orang tua itu memandang Ronald tajam. Dia memang susah berbicara, apalagi setelah ada lubang di lehernya. Tapi matanya selalu bisa mengungkapkan kata-kata. Kali ini Ronald merasa kakeknya begitu kecewa. Mungkin karena dia menunda jadwalnya menemani kakeknya mengisi TTS. Jawabannya pada Fernando tadi bukan bercandaan.
Ronal menggeser sebuah kursi, meletakkannya di depan kakeknya. Kemudian dia melepas jaket kulitnya, meletakkannya ke sandaran kursi yang akan dia duduki.
Bi Ani yang tadi mengikuti Ronald menyerahkan sebuah koran dan pena pada Ronald, "Ini, Mas. Bapak sudah menunggu dari kemarin." Perempuan itu lalu membereskan kamar kakek Ronald.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
قصص عامةCerita dengan latar jaman kolonial. Ceritanya fiksi, tapi kolonialismenya nyata.