"Ron, apakah kamu sedang membutuhkan uang?"
Apakah etis membahas mengenai uang dengan terang-terangan begitu? Pemuda bermata mengantuk itu tidak langsung menjawab. Dia berkutat sendiri dengan pikirannya. Mestinya dia tidak perlu cerita dengan saudara jauhnya itu. Tapi, Andi menatapnya tajam. Menunggu jawaban, tersirat juga kecurigaan.
Laki-laki, belum lama lulus kuliah. Pukul 10.00 masih berwajah ngantuk dan terlihat jelas belum ketemu kamar mandi. Rambut berantakan dan badannya terlihat sedikit kurus dari sebelumnya. Seorang pemuda yang tidak lagi memiliki orang tua, tapi sudah pasti mendapat warisan. Dan sekarang bertanya mengenai harta. Sangat gampang menyusun asumsi buruk tentangnya.
Narkoba? Judi online?
Pemuda itu meneguk kopi yang sudah dingin. Cerita panjang Mas Andi membuatnya mengkonsumsi kopi dan rokok bergantian. Sialnya, cerita panjang Andi pagi itu sama sekali tidak memberinya pencerahan. Malah menambah kebingungan.
Pemuda itu melirik lagi ke arah saudaranya yang lebih tua itu. Tatapan Andi sungguh tenang, hangat dan tidak menghakimi. Tampak masih sabar menunggu jawaban. Tapi pemuda itu merasa tidak nyaman. Dia tidak suka dikuliti. Dan sebenarnya dia juga tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan.
Suara derap terburu-buru dari sepatu boots mengalihkan perhatian dua laki-laki yang saling diam. Berisik. Seorang perempuan keluar dari salah satu pintu, terburu-buru turun melalui tangga kayu sambil mengenakan jaket jeans untuk menutupi tanktop-nya. Kemudian mengikat rambut sekenanya. Perempuan itu serta merta memeluk si pemuda. "Gue cabut dulu. Ada kuis siang ini. Sialan emang. Sampai nanti!"
Sekilas perempuan itu menatap Andi dengan heran, tapi tatapan ramah Andi membuat perempuan itu tersenyum padanya. "Mari, saya duluan Om."
Andi mengangguk pada perempuan yang matanya menyipit karena silau matahari yang terik menembus kaca-kaca lebar bangunan itu. Lalu perempuan itu berlalu pergi. Juga dengan keberisikan yang sama.
"Pacarmu?" Tanya Andi cepat, membiarkan pertanyaan sebelumnya tak terjawab.
Si pemuda masih diam, menandaskan sisa kopi dinginnya.
"Ronnie?" Andi sepertinya mulai tidak tenang melihat kondisi saudaranya. Setelah Narkoba dan judi online, sekarang perempuan.
Pemuda itu sebenarnya malas diinterogasi macam-macam. Semilir angin yang masuk dari jendela kaca yang terbuka menunjukkan kalau hari belum terlalu siang. Belum waktunya untuk berpikir macam-macam.
"Ronald?" Andi menyebut nama sebenarnya pemuda itu. Geram karena si empunya nama tidak juga menjawab.
"Bukan," Ronald akhirnya menjawab pelan sambil memijat tengkuknya yang terasa kencang.
Tatapan tenang Andi berubah bingung. Heran dan haus akan penjelasan.
"Ada beberapa teman menginap di atas. Semalam ada event," jelas Ronald. Jawaban yang tidak terlalu menjelaskan.
Andi tahu, pemuda itu punya band. Tapi, ada event bukan menjadi alasan untuk bangun siang. Juga tidak untuk mewajarkan seorang perempuan tidur bersama laki-laki. Andi menggeleng kecil. Tangannya terlipat di depan dada. Pergaulan anak muda jaman sekarang tidak sesuai dengan nalarnya. Ada rasa kecewa sedikit terhadap Ronald.
Andi baru memikirkan bagaimana cara menasehati pemuda itu. Tapi suara berisik lain terdengar dari arah depan bangunan itu. Suara pintu besar yang dibuka dilanjutkan langkah mendekati Andi dan Ronald berada.
"Wededew, ada Mas Andi. Udah lama, Mas?" Tanya seorang laki-laki muda dengan pakaian rapi jali. Dia mendekat ke arah meja dimana Andi dan Ronald berada. Dia membawa segelas kopi hangat di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
Genel KurguCerita dengan latar jaman kolonial. Ceritanya fiksi, tapi kolonialismenya nyata.