"Hei, Al. Lama nggak ke sini..." Sapa Bang Jo saat empat orang baru sampai ke Toko Merah. Aliya menyetujui tawaran ke Toko Merah untuk mencicipi minuman racikan Bilqis.
"Halo Bang, he..."
Bilqis langsung menuju ke meja Bar. Mengikuti omongan Ronald. Dia membuatkan pesanan Es Kopi kotak untuk Aliya. Bang Jo mengamati Bilqis, bertanya-tanya mau apa perempuan itu di luar jam kerjanya. Dia juga bertanya-tanya kenapa empat orang itu pergi bersama-sama.
"Kalian dari mana?" Tanya Bang Jo lagi.
"Landhuis..." jawab Aliya.
"Rumah Opa yang lama," Ronald ikut menjelaskan.
"Oh... Dulu banyak barang dari sini dipindah ke sana," cerita Bang Jo tanpa ditanya.
Aliya mengingat tumpukan furniture di teras rumah yang tadi ia kunjungi. Berarti tidak mungkin ada barang yang jadi petunjuk. Maupun harta karun. Pasti sudah pernah dibongkar-pasang.
Aliya langsung berjalan ke ruangan yang lebih dalam. Duduk di tempat biasanya. Aliya membuka foto-foto yang dia ambil di landhuis. Mengamatinya pelan-pelan, meski tidak menemukan apa-apa. Kemudian dia mengeluarkan buku Max Havelaar. Penulisnya Multatuli. Dia pernah mendengarnya di bangku sekolah. Tapi tidak pernah benar-benar membacanya.
Aliya membuka halaman demi halaman. Ada beberapa pengantar. Dia berharap ada catatan atau kertas terselip di dalamnya yang bisa menjadi petunjuk untuk teka-teki gajah dan semut. Tapi tidak ada.
Ronald ikut duduk di dekat Aliya. Membiarkan perempuan itu sibuk sendiri. Tampak olehnya kalau perempuan itu sedang serius. Seperti biasanya Aliya terlihat begitu sungguh-sungguh. Dan itu membuat perempuan itu terlihat semakin menarik di mata Ronald. Ada seseorang yang melakukan sesuatu untuknya dengan tulus membuat hatinya penuh.
Aliya kemudian beralih ke hp-nya. Dia melakukan pencarian untuk buku itu, juga penulisnya. Terlihat perempuan itu mengangguk-angguk, saat membaca laman Wikipedia.
"Nemu sesuatu?" Tanya Ronald.
"Lo tau Douwes Dekker?" Tanya Aliya.
"Kayak pernah denger," jawab Ronald.
Aliya langsung menghakimi kalau laki-laki itu tidak pernah tertarik dengan sejarah. Sejarah keluarganya saja dia lewatkan, apalagi sejarah orang lain. "Ini yang nulis Multatuli, itu nama pena dari Eduard Douwes Dekker," cerita Aliya.
"Terus? Lo kayak menemukan sesuatu," tanya Ronald.
Fernando ikut bergabung di meja Ronald dan Aliya, dari tadi dia menunggui Bilqis membuat kopi.
"Sebelumnya gue tahu ada E. Douwes Dekker. Ternyata ada dua orang berbeda. Yang satu Eduard Douwes Dekker, si Multatuli ini. Satu lagi, Eugene Douwes Dekker, Danudirja Setiabudi, tokoh tiga serangkai, bareng Ki Hajar Dewantara sama Dr. Tjipto Mangunkusumo," terang Aliya.
"Setiabudi yang jadi nama jalan?" Tanya Fernando.
Aliya mengangguk. "Dia keponakannya Douwes Dekker ini, indo juga, kayak kalian," tambah Aliya sambil menunjukkan buku yang sedang dipegangnya.
"Terus apa hubungannya?" Tanya Fernando lagi.
Aliya tidak langsung menjawabnya, Bilqis membawakan minuman es kopi kotaknya. Meletakkan gelas ke meja. Ronald menggeser sebuah gelas untuk Aliya.
"Wiiih, kok lucu amat, Bil," puji Aliya.
"Coba dulu," pinta Bilqis.
Aliya meminumnya, "Enak!"
"Thankyou... harus masuk menu sih ini," ucap Bilqis.
"Masukin aja," timpal Ronald setelah mendapat validasi dari Aliya. Dia begitu mempercayai perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
Ficción GeneralCerita dengan latar jaman kolonial. Ceritanya fiksi, tapi kolonialismenya nyata.