12 Rumit

204 39 27
                                    


"Menurut lo gimana, Bil?" Tanya Aliya saat istirahat jam makan siang. Sepiring nasi goreng kecombrang sudah ada di hadapannya.

Sudah berhari-hari dia memikirkan teka-teki itu. Tapi ini sesuatu yang sangat sulit dimengerti. Tidak seperti teka-teki silang yang bisa dengan mudah dijawab karena sudah tahu cara menyelesaikannya. Ada pertanyaan yang mesti dijawab. Begitu juga dengan rubik, tahu kalau itu harus disamakan warnanya. Seperti rope puzzle, tahu kalau harus dilepas talinya tanpa membongkar mainannya.

Tapi tulisan ini, tidak ada petunjuk sama sekali. Clueless.

"Apanya, Kak?" Tanya Bilqis, dia duduk di depan Aliya, memangku nampan yang tadi dipakai untuk mengantar minuman.

Aliya menghela napas, dia lupa kalau Bilqis belum tahu sepenuhnya. Dan perempuan itu juga ada urusan tersendiri dengan dua laki-laki yang datang ke sana tempo hari. Akhirnya Aliya bertanya, "Lo terima tawaran kerjaan itu?"

Bilqis melihat ke sekeliling. Berhati-hati dengan atasannya. "Sebenarnya itu tawaran yang menarik. Aku bisa eksperimen di sana. Tapi gue ragu kak."

"Soal gaji?" Tanya Aliya.

Bilqis nyengir, "Gue nggak munafik, butuh duit, Kak."

"Bener, sih... coba aja harta warisan itu beneran ada, kita kaya raya, Bil..." ucap Aliya sekenanya.

"Harta?"

Aliya menutup mulutnya, dia baru sadar kalau Bilqis belum tahu. Akhirnya dia ketanggungan untuk menceritakan perkara harta warisan, Kakek Ronald yang koma, juga mengenai teka-teki yang mesti dipecahkan. Aliya kemudian mengeluarkan hp-nya. Menunjukkan foto kertas terlipat dengan tulisan tanpa makna.

"Lo udah tahu artinya, Kak?"

Aliya menggeleng, menceritakan kepeningan kepalanya, "Clueless."

"Browsing?"

"Udah, gak jelas. Nggak ada petunjuk yang berarti," teka-teki ini terlalu rumit. Nasib apa yang membawa Aliya bertemu dengan teka-teki itu. Dia memang suka permainan yang katanya mengasah otak itu. Menemaninya menghabiskan waktu. Tapi kali ini teka-teki itu justru menghabiskan banyak waktunya. Dia penasaran, tapi juga tidak bisa apa-apa.

"Gue butuh konteks," ucap Aliya pelan.

Bilqis tiba-tiba mengeluarkan hp-nya. Ada pesan yang masuk. Perempuan itu tampak bingung. Karena kebetulan ada Aliya di sana, dia akhirnya cerita ke Aliya. Meminta pendapatnya sekarang. "Kak, ini si Fernando ngechat gue, tanyain gimananya."

"Dia naksir lo itu, Bil," ucap Aliya dengan mulut penuh nasi goreng.

"I know..."

"Eh..."

"Dia sering nongkrongin gue di cafe lama," cerita Bilqis. Dia menatap Aliya yang matanya melebar, penasaran. "Mereka anak band, Kak. Bang Ronald itu vokalisnya. Ada dua lagi yang lain. Terkenal tau, Kak. Fansnya banyak."

"Terus, terus?"

"Masa lo nggak tahu sih, Kak?"

"Gue baru lima bulan di sini, Bil. Gue cuma kerja terus pulang. Udah," ucap Aliya kesal. Bukan tidak punya teman. Sejak pindah ke kota itu, dia belum punya teman dekat. Teman sekantornya rata-rata sudah berkeluarga. Jadi dia belum menemukan teman main.

"Oh, iya. Lupa. Nggak terkenal berarti, soalnya lo yang di Jogja nggak tahu," Bilqis merevisi ceritanya.

"Mungkin bukan selera gue," ucap Aliya lagi. Dia menelan nasi goreng yang baru dikunyahnya. Lalu bertanya, "Terus lo naksir juga sama si Fernando Jose itu?"

Toko MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang