"Gue nggak suka ditinggal. Gue benci kehilangan..." ujar Ronald di sela tangisnya, "Jangan tinggalin gue, Aliya..."
Aliya mengeratkan pelukannya. Mengijinkan air matanya ikut menetes.
Ronald kesulitan mengontrol tangisnya. Kesedihannya begitu dalam. Dari pagi dia bisa menahan sedihnya terus. Menyembunyikan dirinya. Tapi di depan Aliya, semuanya tumpah begitu saja. Ada penyesalan dan kemarahan pada diri sendiri yang hadir saat kehilangan, semuanya jadi kekalutan. Napas Ronald tersengal.
Aliya mengusap punggung Ronald. Berusaha menenangkan. Dia sedih, tapi dia tahu laki-laki itu jauh lebih sedih. Aliya bisa merasakannya. Dia berbisik lirih di telinga laki-laki itu, "I know..."
"Mas Ronnie, sudah ya jangan nangis terus. Bi Ani jadi ikut sedih," ucap perempuan paruh baya yang sedari tadi masih berdiri di dekat mereka, rupanya ikut menangis.
Ucapan Bi Ani membuat Aliya tersadar tidak hanya mereka berdua di sana. Aliya melepaskan pelukannya. Menatap Ronald sekilas lalu bergerak mendekat ke Bi Ani. Perempuan itu yang sekarang sesenggukan. Sepertinya Bi Ani juga memiliki kesedihan yang juga dalam. Ditinggalkan orang yang sebagaian besar hidupnya dijalani bersama.
"Sabar ya, Bi..." ucap Aliya.
Bi Ani ganti mendekat ke Ronald, "Mas, tadi pagi Bapak kelihatan bahagia sekali waktu Mas Ronnie suapin Bapak. Kita harus ikhlas ya, Mas..."
Mendengar ucapan itu, Ronald lalu memeluk perempuan paruh baya yang sudah menemani hampir sepanjang hidupnya. Dia tidak bisa berkata-kata. Apa yang diucapkan Bi Ani seperti menamparnya dengan keras. Ronald selalu menyangkal pada Opanya. Baru tadi pagi dia melakukan hal kecil untuk Opanya. Tapi Opanya sudah tidak ada sekarang.
Aliya melihat Bi Ani yang mengusap punggung Ronald. Menyeka air mata laki-laki itu yang terus saja mengalir tidak bisa ditahan. Bi Ani juga sedikit merapikan rambut Ronald. Seperti seorang ibu pada anak laki-lakinya. Perempuan itu terlihat berusaha kuat meski Aliya tahu hatinya juga tersayat.
"Gue ambilin minum dulu," ucap Fernando pada Bilqis, dan didengar semua orang di ruangan itu.
"Gue bantuin," sahut Bilqis mengekor Fernando yang berjalan meninggalkan kamar.
"Oh iya, kalian pasti lapar, Bi Ani siapin makan ya," ucap Bi Ani. Begitulah perempuan paruh baya itu, dia masih sedih, tapi tetap saja memikirkan perut orang lain. Bi Ani menyeka air matanya sendiri, bergegas keluar dari kamar, entah kemana.
Ronald kemudian duduk di ranjang. Menunduk, menata perasaannya. Napasnya sudah lebih teratur. Aliya ikut duduk di ranjang itu. Dia memegang bahu laki-laki yang biasanya dingin, tapi saat itu terlihat begitu rapuh.
"Ron... maafin gue," ucap Aliya. Ronald menoleh pada perempuan itu. Aliya melanjutkan kalimatnya, "Maaf minggu lalu gue nggak bisa datang."
"Opa cuma mau bilang terima kasih sama lo," ucap Ronald. Suaranya tertahan karena dorongan untuk menangis datang lagi. Aliya mencondongkan tubuhnya, merangkul Ronald lagi. Laki-laki itu seperti tidak punya daya, dia merebahkan diri, berbaring di pangkuan Aliya. Aliya membiarkan begitu saja.
Saat itu Ronald tidak menimbang salah benar, sopan tidak. Dia begitu kalut dan entah kenapa hanya pada perempuan itu dia bisa mengekspresikan perasaannya dengan jujur. Ronald kembali menangis di pangkuan Aliya. "Gue nggak punya siapa-siapa lagi, Aliya."
"Ssst... kok lo ngomong gitu. Di luar ada temen-temen band lo. Ada Mas Andi, Bang Jo, Fernando sama Bilqis. Jangan lupain Bi Ani yang sayang banget sama lo," ucap Aliya. Sesekali dia mengusap lengan lelaki itu. Menyadarkan kalau masih ada banyak orang yang bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
General FictionCerita dengan latar jaman kolonial. Ceritanya fiksi, tapi kolonialismenya nyata.