14 Enigma

165 36 31
                                    


"Gimana, Al. Lo udah tahu arti tulisan itu?" Tanya Fernando sambil menarik sebuah kursi untuk Aliya. Ronald sudah duduk di kursi lain di seberangnya. Melihat adegan itu. 

'tacap mad bedug mayi dagadu'

Aliya menyebut dalam hati kalimat tanpa makna itu. Dia benar-benar kesulitan. Belum ada petunjuk yang dia dapatkan dari bangunan itu. Cerita Bang Jo cukup memberi latar bagaimana tulisan itu begitu dijaga oleh Opa Danu. Tapi cerita Ronald... ah, Aliya frustasi.

"Belum. Pusing gue," keluh Aliya. Apalagi Ronald sudah menatapnya dengan penuh harapan akan terpecahkannya teka-teki itu. Menjadi tekan sendiri untuknya. Aliya menatap jari-jari tangannya di atas meja, menghindari tatapan Ronald. "Susah, ternyata. Bantuin mikir dong!"

"Lo kan udah keliling tempat ini, nggak ada petunjuk gitu?" Tanya Fernando lagi.

"Tempat ini kalau bangunan doang ya nggak kasih info banyak. Mestinya, paling nggak ada catatan, tulisan, atau cerita apa kek yang mungkin bisa jadi petunjuk," terang Aliya. Dia sudah mengamati bangunan itu, berharap ada tulisan di kaca, di ukiran yang ada, sesuatu yang tersimpan di lemari. Atau apapun itu.

"Ya tanya lah sama yang punya," ujar Fernando sambil menunjuk Ronald dengan bibirnya.

Aliya manyun. Meminta informasi dari laki-laki sedingin es batu yang tidak bisa cerita, sangat sulit. Untuk tidak mengatakan itu hal yang tidak mungkin. Aliya menggeleng.

Ronald mencebik.

"Hahahaha, pelan-pelan Al. Lo harus sabar. Dia mah gitu orangnya," ucap Fernando yang sepertinya sudah tahu betul bagaimana tabiat temannya itu.

Aliya tidak merespon lagi. Mereka pun saling diam. Tidak ada bahan obrolan lagi.

"Gak ada yang bisa ditanyain lagi apa? Atau apa kek, buku catatan Opa lo misalnya?" Tanya Aliya benar-benar frustrasi.

Ronald menggeleng. Entah tidak ada atau tidak tahu, bias.

"Eh, gimana kondisi Opa?" Tanya Fernando tiba-tiba mengganti topik.

Pertanyaan itu membuat Aliya tersadar. Dari tadi dia malah tidak membahas mengenai kondisi Opa Danu. Sangat tidak pengertian, seolah yang ada di kepalanya hanya soal teka-teki dan harta saja. Aliya menyalahkan dirinya sendiri. Laki-laki yang diam itu tentu sedang banyak pikiran. Dia ikut menunggu jawaban Ronald.

"Gue ngerokok ya," ijin Ronald pada Aliya.

"Ish, di dalam ruangan juga," keluh Aliya.

Ronald yang sudah mengambil sebatang rokok mengurungkan niatnya merokok. Menumpuk korek api dari metal di atas bungkus rokoknya. Dia hanya menghela napas panjang, jawabannya sedang ditunggu dua orang di hadapannya.

"Kondisinya stabil, tapi belum sadar," jawabnya singkat.

"Nggak ada yang nungguin?" Tanya Aliya.

"Tadi gue ke sana," ucap Ronald sambil meraup wajahnya. Terlihat raut wajah yang banyak pikiran, banyak beban. Dia melihat Aliya, ada tatapan prihatin di sana. Tapi Ronald juga menangkap ada penghakiman, kenapa tidak ada yang menemani. Dia melengkapi jawabannya, "Udah diurus nakes di sana."

Aliya menghela rasa frustrasinya. Ini sesuatu yang harus diurai pelan-pelan. Kesempatan bertanya pada Opa Ronald tidak memungkinkan untuk saat ini. Sedang koma. "Semoga Opa lekas pulih ya..."

"Kayaknya kalau Opa pulih juga nggak bisa kasih jawaban apa-apa," ujar Ronald lirih, putus asa.

Aliya dan Fernando menatap Ronald, menuntut penjelasn lebih. Dan tatapan itu sebenarnya tidak Ronald sukai. Ketara sekali dia menyesal sudah mengeluarkan suara barusan. Tapi Ronald kemudian melihat tatapan Aliya yang bersungguh-sungguh. "Ya, kalau Opa gue tahu sesuatu, mestinya Opa udah bisa baca tulisan itu."

Toko MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang