Lamunan Leon buyar saat seorang laki-laki paruh baya menghampiri mejanya. Tuan Lim, si empunya rumah plesir. Dia sibuk mengurus tamu-tamunya dan baru menyadari kehadiran Andries. Tuan Lim langsung tersenyum lebar menyapa Andries.
"Mimpi apa owe semalam, Tuan Andries datang ke rumah owe? Mau minum apa? Owe ada minuman hangat yang enak," ujar Tuan Lim, lalu memberi perintah pada salah seorang pelayan di rumah itu.
"Saya mau bertemu dengan Tuan Oey. Apa dia sudah datang kemari?"
"Ah.. yah... urusannya belum selesai di atas," jawab Tuan Lim, telunjuknya menunjuk-nunjuk ke lantai atas. Senyumnya melebar lagi, membuat matanya yang sipit tinggal segaris. "Eh eh... siapa yang datang bersamamu Tuan... apakah?"
Andries tersenyum kecil seperti mengiyakan apa yang dipikirkan Tuan Lim.
"Ah ya... Rumah owe kejatuhan buah persik. Tuan muda, Anda punya Ayah berkawan baik dengan owe, Anda punya kakek berkongsi sama papi owe," Tuan Lim membuat perkenalan yang aneh dengan Leon. Seperti ingin menunjukkan hubungan baik yang sudah terjalin.
Leon hanya bisa tersenyum. Banyak hal yang baru dia ketahui dan pelajari di kota ini. Cerita Tuan Lim salah satunya. Keluarga mereka sepertinya memiliki hubungan baik dengan keluarga dari ayah Leon. Setelah kerusuhan berdarah atas etnis Tionghoa di kota itu. Pemerintah membuat strategi dengan mengizinkan mereka melakukan bisnis plesiran itu supaya tidak membuat mereka angkat kaki dari kota itu. Bagaimanapun Pemerintah kolonial membutuhkan jaringan bisnis mereka.
Leon mulai paham kenapa Andries mengatur pertemuan dengan Tuan Oey dilakukan di rumah itu. Politis, semacam jaringan bisnis. Membuka akses supaya penawaran kerjasama dengan Tuan Oey bisa berjalan mulus. Hubungan baik dengan Tuan Lim bisa menguatkan kepercayaan Tuan Oey pada perusahaan mereka. Bukan untuk plesir seperti dugaan Leon sebelumnya.
"Ah... ya... Tuan Muda, Anda harus ketemu sama kembang yang owe punya. Sebentar, sebentar..." Laki-laki itu kemudian berbisik pada salah seorang pemuda sipit di rumah itu. Tangan kanannya menutup sebelah mulutnya saat berbicara, supaya tidak ada yang paham apa yang ia omongkan.
Leon belum terlalu paham maksud Tuan Lim. Dia tidak bisa berkonsentrasi penuh. Kepalanya masih dipenuhi rasa penasaran akan keberadaan Gadis Kantor Pos di rumah plesir itu.
Untuk apa dia di sini? Apakah dia seorang perempuan malam di rumah ini? Kalau benar begitu, apakah dia perlu 'memesannya'? Membeli pelayanannya? Berapa yang harus dibayarkan untuk pelayanan gadis itu? Di manakah dia sekarang? Apakah sedang memberikan pelayanan?
Deretan pertanyaan yang semakin lama membuat dada Leon sesak. Perasaan ajaib terhadap perempuan itu kacau. Perasaan ganjil yang membuat dia terus memikirkan gadis itu akhir-akhir ini seperti dibenturkan dengan standar moralnya. Apakah gadis itu memang hanya pantas menjadi seorang gundik?
Leon gelisah dibuatnya. Duduknya tidak tenang. Dia tidak bisa menyimak dengan baik obrolan Tuan Lim dengan Andries.
Tidak beberapa lama kemudian, seorang pemuda sipit kembali bersama seorang perempuan di belakangnya. Perempuan itu mengenakan kebaya yang sedikit menerawang memperlihatkan bentuk kutangnya. Dari perawakannya, warna kulit dan rambutnya, dalam tubuh perempuan itu sepertinya mengalir darah Eropa. Ya, seorang Indo juga, sama seperti Leon.
Darah Eropa yang mengalir pada orang-orang Indo tidak menjamin mereka berada di kelas atas. Orang Eropa yang datang ke tanah koloni ini tidak semuanya bangsawan. Ada pekerja, ada prajurit dan beragam strata lainnya. Praktik pergundikan menghasilkan keturunan yang tidak semuanya beruntung. Perempuan itu salah satunya. Keadaan memaksanya berakhir di rumah plesir. Menjadi barang dagangan bersama orang-orang yang didatangkan dari Macau, keturunan Tionghoa, juga para pribumi yang sama tidak beruntungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
Ficção GeralCerita dengan latar jaman kolonial. Ceritanya fiksi, tapi kolonialismenya nyata.