"Ah... Tuan Muda Leon de Rijke, akhirnya Tuan hadir di sini juga," sambut seorang laki-laki berambut pirang, dengan suara lantang menyebut sebuah nama lengkap. Seketika banyak pasang mata yang mengarah pada pemuda yang baru pertama kalinya menginjakkan kakinya di lantai pualam di Rumah Bola itu.
Leon, pemuda itu, hanya tersenyum tipis. Dia canggung dan bingung menanggapi. Tidak seorangpun yang ia kenal dari ratusan orang yang hadir di ruangan luas itu. Kecuali laki-laki yang berdiri di sebelahnya, Andries, paman yang mendampinginya.
"Tuan Ernest, pengelola bangunan ini," bisik laki-laki di sebelah Leon.
Leon baru mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan orang itu. Setelahnya beberapa laki-laki dan perempuan yang mendampingi juga menyalaminya. Menyambut Leon dengan senyum lebar.
Leon berusaha mengingat nama orang-orang itu, juga latar belakang yang disebutkan oleh Andries. Dari pejabat pemerintahan, pengusaha, orang militer hampir semuanya berambut pirang atau kecoklatan. Beberapa priyayi, orang pribumi yang kaya raya juga ada di sana. Meskipun jumlahnya sedikit dan tampak terkucilkan.
Mereka semua berpakaian rapi. Seperti mengenakan pakain terbaik yang mereka miliki. Para perempuannya apalagi. Berbagai perhiasan dikenakan untuk mempertontonkan kekayaan yang dimilikinya. Dia pun demikian. Jass yang dijahit oleh orang Tionghoa dan Sepatu kulit yang dipesan langsung dari toko milik seorang India di Pasar Baru.
Dari ekor mata, Leon melihat beberapa orang mendekatkan mulut ke telinga orang terdekatnya, setelah memperhatikan kehadirannya. Seperti berbisik. Hal itu membuat Leon pusing.
Sebelum sampai di Rumah Bola, Andries menceritakan mengenai perkumpulan itu. Pertemuan golongan kelas atas semacam itu tidak hanya untuk beramah tamah keakraban. Beberapa bersaing dalam ajang mencari jabatan. Leon berusaha memetakan mana lawan mana kawan. Dan ternyata itu tidak mudah. Dia melihat senyum yang terasa munafik, hanya sebuah upaya agar bisnis lancar.
Suara dari sekelompok orang yang memainkan instrumen musik di sisi ruangan mengiringi langkah Ernest mengantarkan Leon dan Andries ke sebuah meja yang masih memiliki kursi kosong. Leon mengedarkan pandangan pada seluruh ruangan, ruangan yang sangat luas. Pilar-pilar dengan lengkungan diantaranya, membatasi sekaligus menyatukan beberapa ruangan. Kaca besar dengan rangka berukir menghiasi dinding-dinding. Patung perunggu menambah kesan mewah, menyertai lampu kristal yang tergantung indah.
Ernest mempersilahkan tempat duduk kosong itu untuk dua orang yang baru datang. "Tuan Leon, sepertinya Anda akan cocok dengan Tuan Pieter, duduklah di sini."
Orang yang disebut namanya berdiri, mengulurkan tangan untuk menyalami Leon. "Oh, jadi kau pewaris Tuan Baron yang baru datang ke kota ini. Saya Pieter."
Leon menyambut uluran tangan Pieter yang sepertinya seumuran dengannya. Rambut laki-laki itu kecoklatan, begitu pula dengan matanya. Leon baru menyadari, sepertinya kabar kedatangannya ke kota itu merupakan berita yang ringan. Sangking ringannya, angin membawa kabar itu ke banyak telinga dengan cepatnya.
"Tuan Pieter ini calon pewaris hotel besar di sudut jalan itu," lagi-lagi Andries menjelaskan latar belakang laki-laki yang baru Leon temui itu.
"Tuan Andries, jangan berlebihan. Itu belum terjadi. Saya masih belajar. Dan masih banyak kemungkinan lain. Tuan tahu saya berdarah campuran,"ujar Pieter. Ada sedikit ragu dalam kalimatnya. Matanya melirik ke beberapa arah. Seperti menunjukkan kemungkinan lain mengenai warisan yang diceritakan Andries.
Tapi tidak dengan Leon, dia memperhatikan sekali lagi wajah Pieter. Sedikit sulit memang membedakan mana yang orang berdarah Eropa sepenuhnya dengan yang sudah bercampur dengan orang pribumi. Tapi pernyataan Pieter barusan membuatnya merasa senasib.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
Ficción GeneralCerita dengan latar jaman kolonial. Ceritanya fiksi, tapi kolonialismenya nyata.