Tanpa Ronald tahu, Aliya membuka sebuah ruangan. Tapi perempuan itu menutupnya lagi. "Sorry..."
"Nggak papa, ini kamar gue," Ronald kemudian membukanya.
Kamar remang, ada tempat tidur di ujung, satu set komputer dengan banyak speaker. Beberapa kelip lampu menyala dari CPU. Beberapa gitar di dinding. Dan ada sebuah poster besar sebuah grup band di dinding yang lain. Ruang itu bau rokok. Aliya hanya melongok. Dia pikir, tidak akan menemukan apapun di ruangan itu. "Lo pasti baru menempatinya."
"Waktu pandemi, setelah direnovasi."
Kemudian mereka kembali menelusuri selasar, Ronald yang memimpin. Ronald membuka sebuah ruangan. Ruangan kosong lagi. Ruangan yang jarang dijamah. Di ruangan selanjutnya yang Ronald buka, ada sebuah lemari kayu. Berdebu, tapi tidak setebal di lantai atasnya tadi. Tanpa ragu, Aliya membuka lemari itu, kosong. Kemudian dia juga mau membuka laci di bagian bawah lemari, tapi kesulitan. Dia menatap Ronald. Tatapan minta bantuan.
Ronald kemudian melakukan seperti yang Aliya mau, membuka laci itu. Kosong juga, hanya tumpukan debu.
Aliya dan Ronald kemudian masuk ke ruangan terakhir di pojokan. Ronald membukakan pintu dan menyalakan lampunya, "Ini studio musik gue, tempat latihan."
Ada seperangkat alat musik di ruangan berwarna abu-abu itu, lengkap. Aliya memahami kalau Ronald anak band. Studio yang bau rokok. Tapi kemudian dia tertarik dengan pintu lain di ruangan itu. Aliya menunjuknya.
"Ke balkon." Ronald membukakan pintu itu.
Aliya keluar menuju balkon yang disebutkan Ronald. Balkon itu menghadap ke Barat. Menantang matahari sore yang sedang berjalan cepat ke peraduan. Pikiran Aliya sibuk, tidak ada petunjuk sama sekali yang ia dapatkan. Tidak ada data yang bisa dianalisa. Dia menghembuskan napas frustasi.
Sebenarnya Ronald tidak sabar akan teka-teki di selembar kertas dengan tulisan tanpa makna itu. Dia ingin mendapat jawabannya. Tapi Ronald sepertinya harus siap tidak mendapat jawaban apapun. Ini memang sulit.
Aliya memandang jauh ke halaman belakang gedung itu yang cukup luas. Pajaknya pasti tinggi, batin Aliya lagi-lagi. Dari ruangan-ruangan yang sudah dia lewati, kamar-kamar yang sudah dia masuki, dia terbayang banyak hal yang bisa dikerjakan di tempat itu. Kenapa cowok cuek itu malah membiarkannya kosong?
Aliya mengesampingkan pertanyaan itu. Tapi sesaat kemudian Aliya memikirkan, untuk apa bangunan itu dulunya? Apa fungsinya? Rumah tinggal? Kantor? Hotel? Sebentar, tadi bukankah laki-laki itu keturunan Eropa.
"Eh, nama panjang lo kan disingkat D. Seinget gue, nama Opa lo juga, D. Apa kepanjangannya? Douwes Dekker? Deventer? Duck?" Tebak Aliya menyebut nama-nama yang sering diulang dalam pelajaran sejarah meskipun dia tidak ingat siapa mereka. Ditambah tawa kecil di nama terakhir. Itu nama karakter kartun.
Ronald mencebik. Perempuan itu seperti tidak serius. Apa hubungannya antara nama dengan teka-teki itu. Tapi Aliya menatap, menunggu jawaban.
"Dirjokusumo," Jawab Ronald.
"Agak aneh memang kalau sebelahan sama nama lo yang sok Eropa itu," canda Aliya. Tapi dia kemudian menemukan keanehan lain. Nama itu sangat Jawa. "Lo ada keturunan Eropa sama Jawa?"
Kali ini Ronald yang menghela napas. Dia tidak menyukai introgasi. Apalagi terkait keluarganya. Apa hubungannya? Ronald merogoh kantong celananya dan mengambil rokoknya, "Gue ngerokok ya?"
Aliya manyun, tidak suka dengan asap rokok. Tapi dia mengangguk, ini ruang terbuka.
"Kakeknya kakek gue, namanya Leon. Dia keturunan campuran, indo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
General FictionCerita dengan latar jaman kolonial. Ceritanya fiksi, tapi kolonialismenya nyata.