Malam sudah gelap, tapi lampu jalanan kota menyala terang dimana-mana. Pun, jam baru menunjukkan pukul 19.30. Belum terlalu larut. Tapi perasaan Aliya kalut. Tatapan mata Nino tidak ramah saat tadi dia menyapa. Sepanjang jalan pun Nino diam. Biasanya dia akan ditanya sudah makan atau belum. Tadi ketemu siapa, atau pertanyaan lainnya.
Sampai rumah Nino masih saja diam. Aliya tidak akan bertanya apapun, karena biasanya kakaknya akan mencari waktu yang tepat untuk berbicara. Tapi tidak dengan malam itu. Mungkin Nino merasa keadaannya genting.
Setelah membuka sepatu, Nino langsung bersuara. "Aliya, kamu capek?"
"Nggak, Mas," jawab Aliya santai.
"Ya udah, bersih-bersih dulu. Mas juga. Nanti Mas tunggu di sini. Kita bicara," ujar Nino.
Aliya sudah memperkirakan hal itu. Bahkan sejak pertama kali mendatangi tempat bertemunya dengan Ronald. Sebuah pub. Tentu saja kakaknya akan berpikir macam-macam. Aliya juga berpikir demikian kalau kakaknya tiba-tiba ada di tempat seperti itu. Apalagi dia melihat bagaimana Ronald dengan santainya meminum alkohol di depannya.
Aliya bebersih dengan cepat. Dia keluar dari kamar, di lihatnya Nino sudah duduk di meja makan kecil di depan kamarnya. Sedang menggulirkan layar hp-nya. "Al... kamu udah makan?"
Aliya menggeleng, "Belum, Mas."
"Abis dari tempat makan kok nggak makan?"
Aliya diam, dia tahu kakaknya sedang menyindirnya. Dia mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan kakaknya.
"Mas mau pesen makan, kamu mau makan apa?" Tanya Nino, dia sedang memilih makanan di hp-nya.
"Ikut Mas aja," ucap Aliya. Tidak baik ngelunjak di saat yang tidak enak.
"Ok, nasi goreng aja ya?"
Aliya mengangguk. Dia menunggu Nino langsung menyelesaikan pesanan makannya. Mencoba menganalisa apa yang akan dipertanyakan oleh kakaknya. Apakah tentang tempat itu. Atau tentang apa yang dia lakukan. Atau malah tentang...
"Aliya sayang... Ada yang mau kamu ceritain sama Mas nggak?" Tanya Nino setelah meletakkan hpnya, tengkurap.
Aliya tahu, kakaknya tidak akan marah-marah membabi buta. Laki-laki itu selalu bisa berkata dengan lembut. Tapi tetap intimidatif. "Tempat tadi ya?"
"Ayolah, Al. You're smart enough to understand my question."
"Tadi ketemu temen, kayak yang aku ceritain sama Mas Nino."
"Kamu nggak cerita sama siapa dan dimana."
"Aku nggak cerita tempatnya karena memang tadi aku belum tahu dimananya. Kalau sama siapanya, kan aku udah cerita yang punya Toko Merah. Yang waktu itu Mas Nino jemput aku. Toh akhirnya aku bilang dimananya kan, karena Mas Nino jemput aku. Nggak ada yang aku sembunyiin, Mas," terang Aliya. Menurutnya dia sudah jujur dengan kakaknya.
"Kenapa kamu mau diajak ke tempat seperti itu?"
"Dia ada perform di tempat itu. Jadi sekalian," cerita Aliya. Lalu, "Aku juga nggak yang aneh-aneh, beneran cuma ngobrol. Minum orange juice."
Nino terlihat menghela napas panjang, dia memang sabar. Dia jarang melarang Aliya ini dan itu. Tapi kelakuan adiknya kali ini sudah diluar batas wajar. "Aliya sayang, kalau kita berkumpul sama penjual minyak wangi, kita akan ikut wangi. Kalau kita berkumpul sama tukang sampah, kita jadi ikut bau."
"Mas, mutiara walaupun di dalam lumpur, tetap mutiara," timpal Aliya. Dia mengingat ramahnya Oma Kate yang sudah tua dan masih dipekerjakan di sana.
"Itu mutiara, Aliya. Benda. Bukan manusia yang bisa terpengaruh. Bahkan bisa berubah semudah membalikkan tangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
General FictionCerita dengan latar jaman kolonial. Ceritanya fiksi, tapi kolonialismenya nyata.