25. |Semua Luka, Sama Jejasnya|

1.5K 156 44
                                        

All We Need Just Heal》

Semua Luka, Sama Jejaanya

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

"Mau tebus murahnya, Mas? Ada wafer tanggo lima ribu, teh kotak tiga ribu lima ratus, kalau sabun lagi promo dari tiga puluh ribu jadi dua puluh tujuh ribu."

Pandangan Mahaka yang semula berfokus pada ponselnya kini beralih melihat barang-barang yang ditawarkan oleh petugas kasir tadi. Tidak ada barang yang dibutuhkan. Semua yang ia rasa perlu, sudah ia beli.

"Terima kasih, Mba. Itu saja," tolak Mahaka.

Lelaki itu membuka mobile banking dari ponselnya. Lalu mengarahkan kamera ke arah barcode yang ada untuk membayar semua belanjaannya. Setelah membayar, Mahaka menyimpan ponselnya di saku dan berjalan ke luar mini market rumah sakit.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, ia meninggalkan Mahesa sendiri di kamarnya untuk pergi ke mini market setelah sebelumnya menitipkan adiknya pada perawat. Pagi tadi, Mahesa sudah sadar. Hanya bangun sebentar, membuka mata dan mengamati sekitar, setelahnya kembali tertidur dan belum kunjung bangun sampai Mahaka pergi keluar.

Mahesa positif terkena tipes dan kekambuhan pada gerd yang dideritanya. Dokter yang memeriksanya pagi tadi bilang, pola makan dan tidur yang tidak teratur, gizi yang tidak seimbang, terlalu banyak mengkonsumsi tepung-tepungan juga banyaknya tekanan dan pikiran membuat kondisi Mahesa drop seperti semalam.

Penyesalan mengukung hati Mahaka. Permasalahan beberapa hari belakangan ini memang secara bertubi-tubi menimpa adiknya. Anak itu pasti tertekan apalagi jika benar memang kejadiannya tidak seperti yang dituduhkan. Namun, Mahaka juga tidak tahu harus memulai dari mana untuk menebus penyesalan itu. Adiknya benar-benar jauh dari jangkauan. Sekedar berbicara tanpa berujung perdebatan pun tampak tidak bisa.

Mahaka berjalan melintasi koridor rumah sakit menuju kamar adiknya di lantai dua. Satu per satu anak tangga ia tapaki. Ia tersenyum ramah pada perawat yang menyapanya. Sampai tiba di depan kamar 201 tempat di mana Mahesa dirawat, ia membuka pintu perlahan. Takut mengganggu adiknya yang masih tertidur nyenyak.

"Sa?"

Mahaka lantas meletakkan semua barang bawaannya ketika tidak menemukan Mahesa di ranjang. Ia segera berjalan ke toilet dan mengetuk pintunya. Kejadian semalam masih membekas diingatan, maka ia takut akan terulang.

"Sa?"

"Lo di dalam kan?"

"Masih lama nggak?"

Baru saja Mahaka ingin membuka paksa pintu karena tidak kunjung ada sahutan, pintu sudah terbuka. Mahesa keluar dengan membawa botol infus di tangannya. Anak itu sama sekali tidak hirau pada Mahaka yang berdiri di sana.

Mahesa berjalan pelan menuju ranjang. Mahaka berjaga di belakangnya karena saat ia memegang lengan Esa untuk menuntun, anak itu menepisnya. Tidak apa, jika ia di posisi Esa, mungkin ia akan melakukan hal yang sama.

"Habis ngapain?" tanya Mahaka saat adiknya sudah kembali berbaring.

Ia membetulkan letak selimut Esa. Melihat ada sedikit darah yang naik dari selang infusnya akibat terlalu banyak bergerak. Tangannya tergerak meraih nasal canula yang dilepas Esa. Hendak memakaikan kembali ke hidung bangir adiknya. Namun, Mahesa menolaknya.

"Kencing."

"Kenapa nggak panggil suster? badan lo masih lemes, kalau jatuh di kamar mandi gimana?" Mahaka menarik kursi agar bisa duduk di samping adiknya.

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang