Di pagi yang cerah itu, Oline Manuel Vanisa bangun dari tidurnya dengan perasaan campur aduk. Perasaan yang sudah lama akrab baginya, terutama sejak Catherina Valencia Adhalia atau Erine menjadi pusat dari kehidupannya. Erine adalah perempuan yang selalu memukau Oline dengan kecerdasannya, keanggunannya, dan ambisinya yang tak tergoyahkan. Oline ingat betul saat pertama kali mereka bertemu di sebuah acara kantor dua tahun lalu, di mana Erine tampak begitu menonjol di antara rekan-rekan lainnya. Sejak saat itu, perasaan kagum dan cinta tumbuh tanpa bisa ia hentikan.
Namun, cinta Oline adalah cinta yang tak terbalas. Erine seolah-olah tidak pernah benar-benar melihat Oline sebagai lebih dari seorang teman atau kolega. Setiap kali Oline mencoba untuk mendekati, respons Erine selalu datar, tidak pernah memberi sinyal yang jelas. Tapi Oline, dengan sifat gigihnya yang keras kepala, tak pernah menyerah. Baginya, cinta ini layak diperjuangkan, meski sering kali terasa seperti mengejar sesuatu yang tak bisa ia raih.
Oline tinggal bersama adik perempuannya, Ribka Budiman Vanisa, di sebuah apartemen sederhana di pusat kota. Ribka adalah sosok yang sangat berbeda dari Oline, lebih blak-blakan dan praktis dalam melihat dunia. Ribka tak pernah ragu untuk mengkritik keputusan Oline, terutama soal perasaannya pada Erine.
"Kak, gue ngerti lo suka sama Erine, tapi lo nggak capek ya terus ngejar-ngejar dia? Dia bahkan nggak pernah kasih tanda kalau dia tertarik," ucap Ribka suatu pagi ketika mereka sarapan bersama.
Oline hanya tersenyum kecil sambil mengaduk kopinya. Ia tahu apa yang Ribka katakan benar, tapi menyerah bukanlah sesuatu yang mudah bagi Oline.
"Kadang hal yang paling berharga itu perlu diperjuangkan, Rib," jawab Oline singkat.
"Lo kayak lagi ngejar bayangan, Kak. Suka nggak sih rasanya capek begini?" Ribka menyentuh tangan kakaknya dengan lembut, berharap bisa menyadarkan Oline dari perasaan yang menurutnya sia-sia.
Di luar keluarga, Oline memiliki tiga sahabat dekat yaitu Nala, Delynn, dan Regie. Mereka adalah kelompok yang selalu mendukungnya, meski terkadang mempertanyakan logika di balik kegigihan Oline. Suatu malam, ketika mereka berkumpul di sebuah kafe untuk berbincang, topik tentang Erine kembali muncul.
"Nggak bisa dipungkiri, Erine itu cantik dan cerdas, Oline. Tapi, nggak kelihatan kalau dia punya minat lebih sama lu," ucap Nala dengan hati-hati. Delynn dan Regie mengangguk setuju.
"Iya, gue paham. Tapi... ada sesuatu yang bikin gue nggak bisa berhenti," balas Oline sambil menatap kosong ke arah jendela kafe.
"Oline, lo yakin ini soal Erine, atau mungkin ini lebih soal lo sendiri yang pengen ngebuktiin sesuatu?" Regie, yang paling lembut di antara mereka, mencoba menawarkan perspektif lain.
Oline terdiam, tapi tidak menjawab. Pertanyaan itu sering kali muncul di benaknya 'apakah ia mengejar Erine karena cinta yang tulus, atau karena ia merasa harus membuktikan sesuatu pada dirinya sendiri, bahwa ia layak dicintai?'
-----+++-----
Suatu sore, setelah hari yang panjang di kantor, Oline memutuskan untuk singgah di kafe favoritnya di sudut jalan. Tempat itu selalu memberi Oline rasa tenang, terutama setelah hari-hari yang melelahkan. Hari itu kafe sepi, hanya beberapa pengunjung yang duduk di meja-meja dekat jendela. Oline memesan secangkir cappuccino dan duduk di sudut ruangan, membuka buku catatan yang selalu ia bawa ke mana-mana. Di sinilah Oline sering kali menuangkan pikirannya, entah itu tentang pekerjaan, keluarga, atau perasaannya pada Erine.
Saat Oline tenggelam dalam pikirannya, seorang perempuan yang duduk di meja sebelahnya menoleh dan tersenyum. Perempuan itu tampak elegan, dengan rambut hitam panjang yang dibiarkan terurai, dan wajahnya memancarkan ketenangan yang hampir mistis. Oline belum pernah melihatnya sebelumnya, meskipun ia sering datang ke kafe ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
POKOKNYA OS
Teen FictionHanya seru-seruan jangan dibawa ke real life Selamat menikmati