Nina - 1

178 26 4
                                    

Matahari baru saja muncul dari ufuk timur, sinarnya yang hangat menembus jendela kecil di kamar sederhana itu. Di meja kayu dekat tempat tidur, sebuah koper terbuka, penuh dengan pakaian dan beberapa barang penting. Oline, seorang pria berusia dua puluh lima tahun, tengah memastikan semuanya sudah siap untuk perjalanan panjangnya.

Di pintu kamar, Ribka, adiknya yang baru berusia sepuluh tahun, berdiri dengan wajah muram. Ia memeluk boneka kelinci lusuh yang selama ini menjadi teman tidurnya.

"Mas harus pergi lagi?" tanyanya pelan, suaranya serak karena menahan emosi.

Oline menghentikan kegiatannya, menoleh, dan tersenyum lembut. Ia berjalan menghampiri Ribka, berlutut di hadapannya, dan menatap wajah kecil itu dengan penuh kasih.

"Ribka, kamu tahu kenapa Mas harus pergi, kan?" ucapnya lembut sambil menggenggam tangan kecil Ribka.

Ribka mengangguk pelan, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu alasan Oline bekerja di luar kota,untuk membayar kebutuhan mereka berdua setelah orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun lalu. Namun, mengetahui alasan itu tidak membuat kepergian kakaknya menjadi lebih mudah.

"Ribka kuat, kan?" Oline mencoba menghibur.

"Kalau Ribka kuat, Mas nggak perlu pergi jauh-jauh," balas Ribka lirih, menundukkan kepalanya. Oline tertawa kecil meski hatinya terasa berat. Ia mengusap kepala Ribka, merapikan rambutnya yang berantakan.

"Mas janji, ini nggak lama. Kalau proyek ini selesai, Mas pulang, dan kita bisa habiskan waktu bareng lagi. Kamu suka kalau Mas bawain oleh-oleh?"

"Aku nggak butuh oleh-oleh, Mas. Aku cuma mau Mas ada di sini." Ribka menatap Oline, matanya mulai berkaca-kaca.

"Ribka, apa pun yang Mas lakukan, semua ini untuk kamu. Biar kamu bisa sekolah, makan enak, dan nggak kekurangan apa-apa. Mas nggak mau kamu susah. Jadi, kamu harus sabar, ya. Mas akan selalu ada, walau nggak di dekat kamu." Oline menarik napas dalam, memeluk Ribka erat.

"Janji pulang, Mas." Ribka memeluk Oline lebih erat, berusaha menahan tangis.

"Janji," jawab Oline dengan tegas.

Beberapa saat kemudian, klakson dari sebuah mobil terdengar di luar rumah. Itu adalah taksi yang akan membawa Oline ke terminal bus. Ia berdiri, mengambil koper, dan menghela napas panjang sebelum melangkah keluar.

Di halaman rumah, Ribka masih memeluk bonekanya erat. Ia memandangi Oline yang naik ke dalam taksi, matanya penuh harapan meski air mata mulai mengalir.

"Ribka, Mas pergi dulu. Jangan lupa makan, belajar, dan senyum, ya," ujar Oline sambil melambaikan tangan dari balik jendela.

Ribka tidak berkata apa-apa, hanya melambaikan tangan kecilnya. Di dalam hatinya, ia berharap waktu bisa berjalan lebih cepat, hingga Oline kembali ke rumah. Taksi itu melaju perlahan, meninggalkan debu yang beterbangan di jalan kecil desa itu. Ribka berdiri di depan rumah, memandang punggung kakaknya yang perlahan menghilang dari pandangan. Di hatinya, ia berbisik, "Aku tunggu Mas pulang."

Ribka duduk di ruang tamu rumah kecil mereka, memandangi ponsel Oline yang ia pinjam sementara waktu. Malam telah larut, tetapi pikirannya masih berkutat pada bayangan kakaknya yang tadi pagi pergi meninggalkan rumah.

Di layar ponsel, ada foto mereka berdua yang diambil beberapa bulan lalu. Foto itu diambil ketika Oline pulang dari pekerjaan terakhirnya. Senyumnya lebar, satu tangannya memegang tas besar, dan tangan lainnya melingkari bahu Ribka yang tampak memeluk erat bonekanya. Ribka tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. Ia memeluk ponsel itu seolah dengan cara itu ia bisa merasa lebih dekat dengan Oline.

POKOKNYA OSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang