Almost Easy - 1

190 18 5
                                    

Hujan deras mengguyur kota di malam itu, menciptakan suasana suram yang seakan menggambarkan kekacauan dalam pikiran Oline. Ia duduk di kamarnya, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong, kepalanya penuh dengan ingatan yang berputar tak berujung. Setiap kilas balik tentang Erine, kekasihnya yang penuh perhatian, menghantamnya seperti gelombang yang tiada henti.

Di dalam hatinya, ada luka yang tak ia duga akan sedalam ini. Bukan karena ia yang disakiti, melainkan karena ia sadar betapa sering ia melukai Erine. Teringat akan momen-momen saat ia mengucapkan kata-kata kasar atau saat ia dengan mudahnya mengabaikan Erine demi pekerjaan atau alasan-alasan yang bahkan tidak masuk akal.

"Kau terlalu sibuk, Oline. Aku merasa seperti aku hanya pilihan kedua." Kalimat Erine terngiang di benaknya, penuh dengan rasa kecewa yang dulu hanya dianggapnya sebagai emosi sesaat.

Malam itu, kesunyian kamar mendadak terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah setiap dinding mengingatkan dirinya pada kesalahan-kesalahannya yang dulu tak pernah ia pedulikan. Oline menyandarkan kepala ke dinding, mencoba meredam rasa bersalah yang menghantuinya. Ia tidak tahu sejak kapan perasaan ini muncul, tapi kini ia tak mampu lagi menahannya.

"Kenapa aku begini?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Sebagian dari dirinya ingin membenarkan semua perbuatannya, menyalahkan keadaan atau stres yang dirasakannya. Namun, malam itu tak ada alasan yang mampu membebaskannya dari rasa bersalah yang makin dalam.

Ia mengusap wajahnya, menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ingatannya melayang ke beberapa bulan lalu, saat hubungan mereka masih baik-baik saja. Oline ingat betul betapa bahagianya Erine ketika mereka merayakan ulang tahun bersama, atau ketika mereka berbagi cerita kecil yang tak berarti namun selalu berkesan. Namun, segalanya mulai berubah ketika pekerjaannya menuntut lebih banyak waktu dan tenaga. Ia mulai absen dalam momen-momen kecil bersama Erine, mulai meremehkan perhatian dan ketulusan yang diberikan kekasihnya.

Dan pada akhirnya, Erine menjadi orang yang paling sering terluka, meski ia tidak pernah mengatakan dengan jelas. Hanya sorot matanya yang kadang penuh luka, seolah bertanya, "Masihkah aku berarti bagimu, Oline?".

Oline kembali memejamkan mata, mencoba meresapi semua yang telah ia perbuat. Ia tahu, tak ada kata-kata yang bisa menghapus semua kesalahan ini. Meski hatinya berat, Oline menyadari bahwa ia harus mulai dari satu langkah sederhana, mengakui kesalahannya, meminta maaf dengan sungguh-sungguh, dan memberi Erine kesempatan untuk memutuskan apa yang terbaik bagi mereka berdua.

Ia merasa terhimpit oleh perasaan yang tak kunjung reda. Menyadari kesalahannya sendiri justru membuatnya semakin sulit menerima diri. Namun, di satu sisi, ia tahu bahwa langkah ini adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki hubungan yang mungkin sudah hampir tak terselamatkan.

Oline meraih ponselnya dan menatap nomor Erine. Jempolnya gemetar, keraguan melintas di pikirannya. Bagaimana kalau Erine tak mau mendengar? Bagaimana kalau aku terlambat?

Tetapi malam itu, entah dari mana, datang sebuah keberanian dalam dirinya. Perlahan ia mengetik pesan singkat.

"Erine, aku tahu ini mungkin sudah terlambat, tapi aku ingin bicara denganmu. Aku harus mengatakan sesuatu yang penting. Aku mohon, beri aku kesempatan ini."

Ia mengirim pesan itu dan menunggu, berharap-harap cemas. Tanpa disadarinya, napasnya terasa berat, seolah seluruh dunia kini bergantung pada satu jawaban yang mungkin akan menentukan segalanya.



-----+++-----

Ponsel Oline bergetar, menunjukkan bahwa Erine telah membaca pesannya. Namun, beberapa menit berlalu tanpa balasan. Hanya ada tanda baca yang menunjukkan Erine sedang mengetik, kemudian berhenti, lalu mengetik lagi. Oline bisa merasakan ketidakpastian Erine, yang kemungkinan sama besarnya dengan ketidakpastian dirinya sendiri. Setiap detik yang berlalu terasa semakin berat.

POKOKNYA OSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang