Nox et Lux - 1

237 27 8
                                    

Daniel berdiri di ujung jalan yang hancur, matanya menatap reruntuhan yang tersebar di sepanjang kota yang dulunya penuh kehidupan. Perang, yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan, telah mengubah segala sesuatu bukan hanya bangunan-bangunan yang hancur, tetapi juga jiwa-jiwa yang terperangkap di dalamnya. Ia datang ke sini bukan untuk bertempur, namun untuk mencari sebuah jawaban yang sudah lama mengusik hatinya. Namun, apa yang ia temui jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan.

Di sisi jalan, tepat di bawah bayangan gedung yang runtuh, seorang wanita berdiri dengan tenang. Rambut hitamnya tergerai, dan di balik kacamata gelap yang ia kenakan, matanya tajam seperti pedang yang terhunus. Dia mengenakan pakaian serba hitam warna yang menjadi simbol dari kelompok pemberontak yang berjuang melawan pemerintahan yang telah memicu kekacauan ini. Indah. Nama yang sudah lama terdengar di telinga Daniel, tetapi pertemuan langsung seperti ini tidak pernah ia bayangkan.

Daniel tahu siapa dia, seorang pemimpin kelompok yang dikenal dengan kegigihannya dan prinsip-prinsip yang tak kenal kompromi. Namun, meski mereka ada di pihak yang berseberangan, ada sesuatu dalam diri Indah yang menarik perhatian Daniel. Apa yang membuat wanita itu bertahan begitu lama di tengah kekacauan ini? Apa yang dia perjuangkan sebenarnya?

"Jadi, ini yang kita sebut 'pertemuan'?" suara Indah pecah, mengalihkan Daniel dari lamunannya.

"Tidak ada senjata? Tidak ada tembakan? Hanya percakapan kosong di antara dua orang yang seharusnya sudah saling membunuh?" Daniel mendengus pelan, tidak bisa menahan rasa geli yang datang begitu saja.

"Kamu pikir aku datang untuk bertempur? Tidak. Aku hanya ingin berbicara." Daniel mengamati wanita itu dengan seksama, mencari tanda-tanda ketegangan, atau mungkin kecemasan. Tapi yang ada hanya keteguhan yang luar biasa.

"Mungkin sudah waktunya kita berbicara." Indah tidak langsung menjawab, melainkan memiringkan kepala, memperhatikannya dengan cermat.

"Kamu tentu bukan seorang prajurit biasa. Ada sesuatu yang berbeda tentangmu." Ia mengamati seragam Daniel yang sedikit lusuh lebih mirip dengan seseorang yang sedang bertahan hidup di tengah badai ketimbang seorang tentara dari pasukan yang memerintah.

"Dan kau juga bukan orang biasa," balas Daniel.

"Satu-satunya yang membedakan kita mungkin adalah siapa yang memberi perintah."

Di belakang mereka, suara gemuruh peluru dan ledakan masih terdengar, tetapi untuk beberapa detik itu, dunia di sekitar mereka terasa seperti terhenti. Daniel merasakan ketegangan yang menggantung di udara, sesuatu yang lebih tajam dari sekadar permusuhan antara dua pihak yang berperang. Ada sesuatu yang lebih dalam sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

"Kenapa kau bertahan?" Daniel akhirnya bertanya, suaranya rendah, namun tegas.

"Mengapa tetap berjuang untuk semua ini? Bukankah kau sudah tahu perang ini tidak akan berakhir dengan kemenangan dari pihak kita?" Indah mengangkat bahu, seolah-olah pertanyaan itu tidak terlalu penting.

"Kita bertahan karena kita tidak punya pilihan," jawabnya, suara datar namun penuh keyakinan.

"Kita bertahan karena jika tidak, kita akan menjadi bagian dari sejarah yang dilupakan. Tidak, Daniel. Kita berjuang karena jika kita berhenti, kita tidak hanya kalah, tapi kita juga mati."

Daniel merasa lidahnya terasa kering. Ada sesuatu dalam kata-kata Indah yang menusuk jauh ke dalam hati, lebih dari yang ia duga. Ia tahu bahwa meski mereka berdiri di sisi yang berlawanan, prinsip yang mereka pegang bukanlah sesuatu yang bisa dihancurkan begitu saja oleh perang atau kebencian.

Tetapi, pada saat yang sama, ia merasakan perbedaan besar di dalam dirinya sendiri, ada suara yang terus berbisik bahwa pertempuran ini tidak bisa dimenangkan dengan cara yang sudah mereka kenal. Mereka berdua bertarung untuk apa? Untuk siapa? Atau apakah ini hanya tentang bertahan hidup?

POKOKNYA OSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang