Pagi itu, setelah berhari-hari mempersiapkan mental, Oline akhirnya menerima balasan dari Erine.
"Baik, kita bisa bertemu di kafe sore ini," tulis Erine singkat.
Sekilas, pesan itu seperti pesan biasa, tanpa embel-embel apa pun. Namun bagi Oline, pesan itu adalah harapan, walau tipis, tentang bagaimana ia bisa mengungkapkan isi hatinya sepenuhnya kepada Erine. Meskipun kali ini, ia bertekad untuk tidak terlalu bergantung pada hasil.
Sore itu, Oline sudah menunggu di kafe yang biasa mereka kunjungi bersama, tempat di mana mereka sering bertemu untuk berdiskusi soal pekerjaan atau sekadar berbicara ringan tentang hal-hal yang tak terlalu penting. Oline duduk di sudut ruangan, seperti biasa. Tangannya sedikit gemetar saat merapikan rambutnya yang dibiarkan tergerai. Kemeja putih dan celana panjang hitam yang dikenakannya tampak rapi, namun jelas mencerminkan ketegangan dalam dirinya.
Tak lama kemudian, Erine datang. Dengan langkah ringan namun anggun, ia mendekati meja. Oline merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Erine, dengan rambut hitamnya yang selalu tersisir rapi, duduk di seberang Oline. Erine tampak seperti biasanya tenang, tak tergoyahkan, dengan senyum tipis yang kerap kali menimbulkan harapan dalam hati Oline.
"Maaf kalau aku agak telat," kata Erine sambil menaruh tasnya di samping.
"Ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Erine yang sedikit penasaran apa tujuan Oline mengajaknya bertemu.
Oline menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. Ini bukan pertama kalinya ia berbicara dengan Erine, tetapi ini adalah pertama kalinya ia berniat untuk benar-benar mengungkapkan semua perasaannya, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya.
"Erine," ucap Oline, mengawali dengan suara bergetar.
"Aku sudah lama ingin mengatakan sesuatu. Mungkin kamu sudah menyadarinya, mungkin juga belum. Tapi... aku merasa aku harus jujur sekarang." Erine menatapnya dengan alis terangkat, tetapi tetap tenang seperti biasa.
"Oke, lanjutkan." Ucap Erine.
"Aku suka sama kamu. Sudah sejak lama. Kamu mungkin nggak pernah menyadarinya, atau mungkin kamu pura-pura nggak tahu. Tapi aku nggak bisa menyimpan perasaan ini lebih lama lagi." ucap Oline setelah menghela napas dalam-dalam
Erine masih terdiam. Oline tidak bisa membaca ekspresi wajahnya. Erine terlalu pandai menyembunyikan apa yang ia rasakan, sesuatu yang selama ini selalu membingungkan Oline. Meskipun Erine tidak pernah memberi sinyal yang jelas, dia juga tidak pernah benar-benar menolak kedekatan Oline.
"Aku tahu mungkin kamu nggak merasakan hal yang sama," lanjut Oline dengan cepat sebelum Erine bisa menjawab.
"Dan aku sudah siap dengan kemungkinan itu. Aku hanya butuh kejelasan. Bukan untuk memaksamu merasakan hal yang sama, tapi supaya aku bisa tahu di mana aku berdiri." Oline mencoba berdamai dengan dirinya sendiri.
Erine menatapnya dengan ekspresi serius, seolah mempertimbangkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya bagi Oline, Erine akhirnya berbicara.
"Oline, aku hargai kejujuranmu. Tapi aku harus jujur juga sama kamu. Aku nggak pernah melihat kamu lebih dari seorang teman." seperti dugaan Oline, inilah jawaban Erine.
Kalimat itu menghantam Oline seperti batu besar yang menimpa dadanya. Meski ia sudah mempersiapkan diri untuk mendengar jawaban ini, mendengar langsung dari mulut Erine terasa jauh lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan.
"Aku nggak bermaksud membuatmu berharap selama ini," lanjut Erine dengan nada yang lebih lembut.
"Aku pikir kita punya hubungan yang baik sebagai teman. Aku senang berbagi waktu denganmu, tapi... aku nggak bisa memberikan perasaan yang kamu harapkan." terang Erine.
KAMU SEDANG MEMBACA
POKOKNYA OS
Teen FictionHanya seru-seruan jangan dibawa ke real life Selamat menikmati