Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi bagi Ribka, setiap jam terasa begitu lambat tanpa kehadiran Oline di rumah. Pagi itu, ia duduk di meja makan, menatap semangkuk nasi goreng yang ia buat sendiri. Biasanya, Oline yang memasak dan menyuguhkannya dengan lelucon-lelucon kecil. Namun kini, rumah terasa sepi, hanya suara radio tua yang memecah keheningan.
Saat ia hendak mengambil suapan pertama, ponsel Oline yang ia pinjam bergetar. Sebuah pesan masuk:
"Selamat pagi, Ribka! Kamu makan apa hari ini? Mas udah siap kerja lagi. Jangan lupa belajar, ya. :)"Ribka tersenyum kecil, mengetik balasan cepat:
"Nasi goreng. Nggak seenak buatan Mas, tapi lumayan. Jangan kerja keras banget, Mas."Beberapa menit kemudian, ponsel kembali bergetar. Kali ini, Oline mengirim foto dirinya dengan helm proyek di kepala, lengkap dengan seragam kerja.
"Ribka harus lihat nih, Mas udah kayak insinyur beneran, kan? Hehe."Ribka tertawa kecil melihat foto itu, tetapi hatinya tetap terasa kosong. Ia ingin menjawab lebih banyak, ingin bercerita tentang betapa sepinya rumah tanpa Oline, tetapi ia menahan diri. Ia tidak ingin membuat kakaknya khawatir.
Di tempatnya bekerja, Oline sedang berdiri di tepi gedung tinggi, memandang kota yang sibuk. Ia tahu betapa Ribka merindukannya, tetapi ia juga tahu bahwa kehadirannya di sini adalah bagian dari tanggung jawabnya.
Dalam diam, ia mengingat wajah Ribka yang selalu bersemangat setiap kali ia pulang membawa cerita atau oleh-oleh kecil. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa pulang dan melihat senyum adiknya lagi. Namun, rutinitas kerja yang berat membuat komunikasi mereka semakin terbatas. Kadang Oline tidak sempat membalas pesan Ribka tepat waktu, dan hal itu membuat hati gadis kecil itu semakin gelisah.
Suatu sore, Ribka memutuskan untuk menulis surat untuk Oline. Dengan pensil yang hampir tumpul, ia menumpahkan semua isi hatinya di selembar kertas:
"Mas Oline, aku tahu Mas kerja keras supaya kita bisa hidup lebih baik. Tapi aku rindu. Aku rindu ngobrol sama Mas, makan bareng, dan dengar cerita Mas sebelum tidur. Aku nggak akan marah kalau Mas sibuk, tapi jangan lupa kalau aku selalu nunggu Mas pulang."
Ia melipat surat itu dengan rapi, memasukkannya ke dalam amplop, dan menulis alamat Oline di sana. Esok harinya, ia mengirim surat itu melalui kantor pos di dekat sekolahnya.
Di sisi lain, Oline juga sering merasa bersalah karena tidak bisa memberikan lebih banyak waktu untuk Ribka. Ia mencoba mengimbanginya dengan mengirimkan video singkat atau hadiah kecil melalui kurir, berharap itu bisa membuat Ribka tersenyum.
Namun, baik Oline maupun Ribka tahu bahwa kerinduan tidak bisa sepenuhnya dihapus dengan kata-kata atau hadiah. Mereka hanya bisa berharap waktu segera mempertemukan mereka kembali. Di balik jarak yang memisahkan, keduanya tetap saling mendoakan dalam diam. Oline terus bekerja keras untuk masa depan mereka, sementara Ribka belajar menerima bahwa rindu adalah bagian dari cinta yang mereka miliki.
Malam itu, Oline baru saja selesai bekerja. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya tetap terjaga, memikirkan Ribka di rumah. Ia duduk di kontrakan kecilnya, menatap bingkai foto keluarga yang ia bawa dari rumah. Foto itu menjadi satu-satunya pengingat akan rumah di tengah hiruk-pikuk kota besar.
Tiba-tiba, seorang kurir mengetuk pintu. Dengan sedikit bingung, Oline membuka pintu dan menerima amplop kecil yang diantarkan kepadanya. Nama pengirim di sudut kiri amplop membuat senyum tipis muncul di wajahnya: Ribka Manuel.
Dengan hati-hati, ia membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi. Tulisan tangan Ribka yang mungil dan sedikit berantakan memenuhi halaman itu. Oline membaca perlahan, menelan setiap kata yang terasa seperti suara adiknya yang berbicara langsung di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
POKOKNYA OS
Teen FictionHanya seru-seruan jangan dibawa ke real life Selamat menikmati