Sabtu pagi yang cerah, keluarga Vanisa memulai harinya dengan berbagai kegiatan. Mommy sedang sibuk di dapur memasak pancake, aroma mentega dan sirup memenuhi rumah. Oline, seperti biasa, duduk di meja makan sambil fokus bermain game di ponselnya. Papa? Dia sedang sibuk memeriksa kalender dan bergumam sendiri tentang kapan waktu yang tepat mengganti oli motor. Namun, Ribka Budiman, alias Ribbi, tampaknya punya rencana besar pagi itu. Dengan langkah kecil tapi mantap, dia menghampiri kakaknya yang masih asyik menatap layar.
"Kak Oline," bisik Ribbi sambil menarik lengan baju kakaknya.
"Aku mau bikin kejutan buat Mommy dan Papa. Tolong bantuin dong." Oline mendongak, sedikit terganggu.
"Apa dulu idenya? Kalau aneh, aku nggak mau ikut." Ribbi mengangkat kertas bergambar diagram yang lebih mirip coretan abstrak.
"Aku mau bikin sarapan super spesial!" Oline mendengus.
"Kamu bahkan nggak bisa bikin telur goreng."
"Makanya aku butuh Kakak! Ini demi Mommy dan Papa. Ayolah, Kak." Ribbi menatap Oline dengan mata penuh harapan, ekspresi yang sulit ditolak. Dengan desahan panjang, Oline menyerah.
"Baiklah. Tapi kalau dapurnya meledak, aku nggak mau tanggung jawab."
Di dapur, Ribbi langsung mengambil peran sebagai "kepala koki" sementara Oline menjadi asisten yang terpaksa. Ribbi mulai membuka lemari untuk mencari bahan-bahan.
"Kak, ambilin tepung! Dan susu! Dan... telur!"
"Ini dapur atau medan perang?" gerutu Oline sambil menyerahkan bahan-bahan.
Tepung dituang, tapi Ribbi terlalu bersemangat sehingga setengahnya tumpah ke meja dan sebagian lagi ke wajahnya.
"Aku kelihatan kayak koki profesional, kan?" tanya Ribbi bangga.
"Kamu lebih mirip badut sirkus," jawab Oline sambil mencoba menahan tawa.
Proses memasak berlangsung penuh tantangan. Susu tertuang terlalu banyak, adonan pancake menggumpal seperti tanah liat, dan telur malah jatuh ke lantai.
"Kakak, tolong pecahin telur yang baru! Aku nggak bisa!" perintah Ribbi.
"Kalau aku yang masak semuanya, apa gunanya kamu jadi koki?" balas Oline.
"Aku yang kasih ide, jadi tetap aku kokinya," jawab Ribbi dengan percaya diri.
Setelah perjuangan panjang dan tak terhitung berapa banyak alat masak yang berantakan, pancake ala Ribbi akhirnya selesai. Bentuknya tidak simetris, warnanya cokelat tua (nyaris hangus), tapi Ribbi bangga. Dia menyajikannya di meja makan dengan penuh semangat.
"Tadaaa! Ini pancake buatan Ribbi buat Mommy dan Papa!"
Mommy dan Papa, yang baru saja selesai berbincang, langsung menghampiri. Mommy tersenyum kecil melihat wajah Ribbi yang belepotan tepung.
"Wah, Ribbi masak sendiri? Hebat sekali, Nak." Papa mengambil garpu, mencicipi sedikit, lalu berhenti. Wajahnya berubah seketika.
"Ini... ini rasa apa, Ribbi?"
"Enak, kan?" tanya Ribbi penuh harap. Mommy, yang ikut mencoba, langsung menyeka air matanya.
"Ini pancake atau garam dadakan? Kok asin banget?" Ribbi tampak bingung.
"Tapi tadi aku tambahin gula banyak, lho. Mungkin garamnya kebanyakan sedikit?" Oline tertawa terbahak-bahak.
"Sedikit? Kamu bikin pancake atau eksperimen kimia, Ribbi?" Papa menepuk bahu Ribbi dengan senyum kaku.
"Yang penting kamu sudah berusaha. Tapi kayaknya kita harus latihan lagi, ya."
Meski pancake itu tidak bisa dimakan, momen pagi itu tetap penuh tawa. Ribbi tersenyum puas karena berhasil membuat keluarganya bahagia, meskipun lewat "bencana kuliner."
KAMU SEDANG MEMBACA
POKOKNYA OS
Teen FictionHanya seru-seruan jangan dibawa ke real life Selamat menikmati