Bab 3 Berbagi Rahasia

162 10 0
                                    

Hari ini, langit sedikit mendung ketika Jennie tiba di lapangan basket. Suasana berbeda, tidak secerah biasanya. Namun, itu tidak mengurangi semangatnya untuk kembali duduk di bangku panjang, menyaksikan Lisa dan tim berlatih. Ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya, berharap agar Lisa kembali menyapanya seperti kemarin.

Latihan berjalan seperti biasa, dan Jennie mulai menggoreskan pensil di atas kertas, mencoba mengabadikan momen saat Lisa melakukan lemparan bebas. Tiba-tiba, suara derap langkah terdengar mendekat dan ketika Jennie menoleh, dia melihat Lisa berjalan ke arahnya, tersenyum lebar.

"Hai, Jennie. Boleh aku lihat sketsamu lagi?" tanyanya sambil duduk di sebelahnya.

Jennie menahan napas sesaat sebelum mengangguk. "Tentu," jawabnya, menyerahkan buku sketsa itu dengan tangan yang sedikit bergetar.

Lisa membuka halaman demi halaman, mengamati hasil sketsa Jennie. "Kamu benar-benar berbakat, ya. Setiap gambarmu punya detail yang hidup, seolah-olah aku bisa merasakan energi dari lapangan ini," kata Lisa sambil tersenyum bangga.

"Terima kasih," jawab Jennie pelan, merasa malu tapi juga senang. "Aku hanya menggambar apa yang aku lihat di sini. Dan mungkin sedikit lebih banyak saat aku melihat kamu bermain."

Lisa tertawa kecil. "Berarti, aku punya penggemar setia, dong?"

Wajah Jennie memerah. "Bukan begitu maksudku," katanya buru-buru. "Aku hanya... ya, suka menggambar."

Lisa tertawa lagi, kali ini lebih pelan. "Tidak apa-apa, Jennie. Aku senang ada yang memperhatikan dan menghargai kerja keras kami di lapangan ini."

Sambil duduk di samping Jennie, Lisa bercerita lebih banyak tentang kecintaannya pada basket, tentang bagaimana dia mulai bermain sejak kecil dan impiannya untuk membawa tim sekolahnya menjuarai turnamen antar sekolah. Dia berbicara dengan antusiasme yang membuat matanya berbinar. Jennie mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tersenyum dan mengangguk.

"Aku juga punya mimpi," kata Jennie dengan suara pelan setelah Lisa selesai bercerita.

Lisa menoleh padanya. "Apa mimpimu, Jennie?"

Jennie merasa ragu sejenak, tapi kemudian memberanikan diri untuk bercerita. "Aku ingin menjadi seniman, tapi aku tidak terlalu yakin dengan kemampuan dan jalanku ke depan. Aku selalu merasa bahwa apa yang aku gambar hanyalah sekadar hobi, bukan sesuatu yang benar-benar bisa aku kejar."

Lisa menatapnya serius. "Kenapa tidak? Kamu punya bakat. Kalau kamu suka menggambar, kenapa tidak mencoba menjadikannya sesuatu yang lebih besar? Sama seperti aku yang bermimpi tentang basket."

Perkataan Lisa membuat Jennie terdiam. Ia tidak menyangka Jennie akan mendukung mimpinya dengan cara yang begitu tulus. "Kamu membuatnya terdengar mudah," katanya sambil tersenyum tipis.

"Aku hanya percaya bahwa setiap orang berhak bermimpi dan berusaha mewujudkannya," jawab Lisa sambil menatap Jennie dengan penuh keyakinan.

Di tengah percakapan mereka, tiba-tiba hujan mulai turun rintik-rintik. Mereka segera berlari mencari tempat berteduh di bawah tribun. Meski hujan mulai mengguyur lapangan, ada kehangatan di hati Jennie yang tidak bisa diredam oleh dinginnya udara sore itu. Bukan hanya karena percakapan mereka, tetapi karena perasaan bahwa mungkin, hanya mungkin, dia dan Lisa sedang membangun sesuatu yang istimewa.

Hari itu, di bawah naungan tribun dan derai hujan, Jennie dan Lisa saling berbagi sedikit rahasia dan impian mereka, membuka jalan untuk perasaan yang tumbuh di antara keduanya. Setiap detak jantung yang berdetak di lapangan itu seolah menjadi saksi bagi awal yang baru dalam hidup mereka.

Tbc.

Detak Jantung di Lapangan BasketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang