Bab 4 Hujan dan Tawa

265 22 0
                                    

Hujan masih turun dengan deras saat Jennie dan Lisa berlindung di bawah tribun. Suara rintik hujan yang memukul tanah dan atap tribun menciptakan suasana yang menenangkan, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk berbicara lebih dekat. Jennie merapatkan jaketnya, merasakan angin dingin yang bertiup lembut. Namun, kehadiran Lisa di sampingnya memberikan rasa hangat yang tak terduga.

"Kayaknya kita harus menunggu sebentar sampai hujan reda," kata Lisa sambil mengusap rambutnya yang sedikit basah. "Kamu nggak bawa payung, kan?"

Jennie menggeleng. "Enggak. Aku nggak nyangka hujannya bakal deras begini."

Lisa tersenyum, lalu melihat ke arah lapangan yang mulai terendam air. "Jadi, kamu masih suka menggambar sambil nonton latihan kami? Padahal banyak yang bilang basket itu cuma olahraga biasa."

Jennie tersenyum tipis dan mengangguk. "Buatku, ada keindahan tersendiri di setiap gerakan. Setiap lemparan, lompatan, dan pantulan bola... rasanya seperti tarian yang memiliki ritmenya sendiri."

Lisa menatap Jennie dengan takjub. "Kamu benar-benar melihat sesuatu yang berbeda, ya. Aku nggak pernah memikirkannya seperti itu."

"Setiap orang punya caranya sendiri untuk melihat sesuatu, kan?" jawab Jennie sambil tersenyum. "Seperti kamu yang memandang basket bukan hanya sebagai olahraga, tapi juga sebagai impian yang ingin kamu wujudkan."

Lisa tertawa kecil. "Kamu memang pandai berkata-kata. Kalau saja kamu jadi komentator basket, mungkin pertandingan bakal terdengar lebih puitis."

Jennie ikut tertawa, lalu mereka terdiam sejenak, menikmati suara hujan yang masih turun. Lisa tiba-tiba berdiri, lalu menatap Jennie dengan ekspresi penuh tantangan.

"Kalau hujan masih lama, bagaimana kalau kita main basket di tengah hujan?" tanyanya sambil mengangkat alis.

Jennie terkejut. "Di tengah hujan? Bukankah lapangan jadi licin?"

"Ayolah, cuma untuk bersenang-senang. Nggak akan ada yang melihat. Lagi pula, ini kesempatan bagus untukmu belajar sedikit tentang basket," Lisa tersenyum penuh semangat.

Sebelum Jennie bisa menolak, Lisa sudah berlari ke tengah lapangan yang basah, mengambil bola basket yang tadi mereka gunakan. Dia menoleh ke arah Jennie yang masih berdiri ragu-ragu di bawah tribun, lalu melambai. "Ayo, Jennie! Ini pasti seru!"

Setelah beberapa detik menimbang, Jennie akhirnya memutuskan untuk ikut. Dia berlari ke tengah lapangan, merasakan air hujan yang menyentuh wajahnya dan sepatu yang sedikit terpeleset di permukaan basah. Saat tiba di hadapan Lisa, dia tertawa kecil, merasa aneh sekaligus gembira dengan apa yang mereka lakukan.

"Oke, jadi apa yang harus kulakukan?" tanya Jennie dengan senyum lebar.

"Coba lempar bolanya ke arah ring. Anggap saja ini seperti melukis, tapi di udara," Lisa menjelaskan sambil menyerahkan bola pada Dira.

Jennie mengambil posisi dan mencoba melakukan lemparan, meski terlihat canggung. Bola itu terpantul jauh dari ring, dan Lisa tertawa. "Lumayan untuk yang pertama kali! Coba lagi, aku yakin kamu bisa."

Mereka terus bermain di tengah hujan, dengan tawa yang semakin keras dan lemparan yang terus-menerus gagal. Namun, bagi Jennie, itu bukan tentang seberapa bagus ia bermain, melainkan tentang momen kebersamaan ini momen di mana ia dan Lisa seolah-olah berada di dunia mereka sendiri, terisolasi dari kenyataan di luar sana.

Saat hujan mulai mereda, Lisa mendekati Jennie dan berkata, "Terima kasih, Jennie. Aku nggak ingat kapan terakhir kali aku bersenang-senang seperti ini."

Jennie tersenyum, merasakan detak jantungnya yang berdebar lebih cepat. "Aku juga. Terima kasih sudah mengajakku."

Mereka saling menatap, dan seolah-olah waktu berhenti sejenak. Ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang mulai terasa lebih dari sekadar pertemanan biasa. Hujan yang mengguyur lapangan itu mungkin berhenti, tapi perasaan yang tumbuh di antara mereka baru saja mulai berkembang, membawa harapan untuk masa depan yang tak terduga.

Tbc. 

Detak Jantung di Lapangan BasketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang