Bab 10 Tanda-Tanda Masalah Baru

214 14 0
                                    

Kemenangan tim basket pada pertandingan sebelumnya memberikan kebahagiaan besar, tidak hanya bagi para pemain tetapi juga seluruh sekolah. Semua orang membicarakan kemenangan itu, dan Lisa menjadi sorotan utama karena tembakan penentu yang dilakukannya di detik-detik terakhir. Meski begitu, rasa sakit di kakinya yang terluka saat pertandingan masih terus mengganggu.

Jennie, yang selalu setia di sampingnya, mulai khawatir ketika melihat Lisa kesulitan berjalan setelah pertandingan. Pada suatu sore, mereka duduk di bangku taman sekolah, menikmati sinar matahari yang lembut. Dira memperhatikan bahwa setiap kali Lisa bergerak, ia menahan napas seolah-olah mencoba mengurangi rasa sakit yang dirasakannya.

"Kamu yakin nggak apa-apa, Lis?" tanya Dira dengan nada cemas. "Kamu kelihatan masih kesakitan. Mungkin kamu perlu istirahat lebih lama."

Lisa mencoba tersenyum, meski sedikit meringis. "Aku baik-baik saja, kok. Cuma butuh waktu buat pulih sepenuhnya. Latihan juga nggak terlalu berat akhir-akhir ini."

Jennie menghela napas, tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban Lisa. "Kalau memang kamu merasa sakit, kamu harus jujur, ya. Jangan dipaksakan."

Lisa mengangguk, tetapi rasa ragu tetap menghantui benaknya. Ia tahu bahwa dirinya tidak sepenuhnya pulih, namun ia juga tidak ingin mengecewakan pelatih dan tim, terutama karena pertandingan berikutnya sudah semakin dekat. Ia merasa bahwa jika ia berhenti sekarang, semua usahanya selama ini akan sia-sia.

Saat Lisa berusaha menjaga penampilannya di hadapan semua orang, situasi sebenarnya jauh dari sempurna. Setiap kali latihan, ia merasa nyeri di kakinya semakin parah. Beberapa kali ia terpaksa menghentikan latihan lebih awal dan berdalih kepada pelatih bahwa ia hanya merasa sedikit kelelahan. Namun, pelatih pun mulai menyadari adanya masalah dan memanggil Lisa ke kantornya setelah latihan suatu hari.

"Lisa, aku perhatikan beberapa hari terakhir kamu tidak berlatih dengan maksimal," kata pelatih sambil menatapnya dengan serius. "Ada apa denganmu? Jujurlah padaku."

Lisa terdiam sejenak, merasakan ketegangan dalam dirinya. Ia tidak ingin mengecewakan siapapun, tetapi di sisi lain ia tahu bahwa memaksakan diri akan semakin memperburuk kondisinya. Akhirnya, ia mengakui kebenarannya. "Kaki saya masih sakit sejak pertandingan terakhir, Pak. Saya pikir saya bisa menahannya, tapi kelihatannya semakin parah."

Pelatih menghela napas panjang, mencoba menahan kekesalannya. "Kamu seharusnya jujur dari awal, Lisa. Ini bukan tentang terlihat kuat di depan orang lain. Kesehatan kamu jauh lebih penting. Kita akan menjadwalkan pemeriksaan dengan dokter olahraga untuk memastikan kondisi kamu."

Kata-kata pelatih membuat Lisa terdiam. Ada rasa lega karena akhirnya ia bisa jujur, tetapi juga kekhawatiran besar bahwa ia mungkin harus absen dari latihan atau pertandingan berikutnya. Bagaimana kalau tim tidak bisa tampil sebaik saat ada dia? Bagaimana kalau ini akan mempengaruhi peluangnya untuk mendapatkan beasiswa olahraga?

Malam harinya, saat ia berbicara dengan Jennie di telepon, Lisa menceritakan semuanya. "Aku mungkin harus absen beberapa minggu," kata Lisa dengan suara pelan. "Dokter akan melihat seberapa serius cedera ini."

Jennie merasakan kekhawatiran dalam suara Lisa. "Yang penting kamu pulih dulu, Lisa. Tim akan baik-baik saja, dan mereka pasti mendukungmu. Aku juga akan ada di sini, menemani kamu melewati ini."

Mendengar kata-kata Jennie membuat Lisa sedikit tenang, tetapi rasa takut tetap ada. Bagaimana jika masa depannya di dunia basket terganggu karena cedera ini? Meski begitu, ia tahu bahwa Jennie benar ia harus fokus pada pemulihan. Tanpa kesehatan yang baik, tidak ada pertandingan yang bisa dimenangkan.

Seiring waktu berjalan, Lisa menjalani pemeriksaan medis dan terapi fisik untuk mempercepat penyembuhan kakinya. Meskipun ia tidak bisa ikut latihan secara langsung, ia tetap hadir di setiap sesi latihan tim, memberikan semangat kepada rekan-rekannya dari pinggir lapangan. Kehadirannya memberikan dorongan moral, tetapi juga menjadi pengingat bahwa perjuangannya belum usai.

Di sisi lain, Jennie tetap berusaha memberikan dukungan yang dibutuhkan Lisa, baik sebagai teman maupun kekasih. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu di luar lapangan, berbicara tentang banyak hal, dan semakin mengenal satu sama lain di luar kesibukan basket. Hubungan mereka semakin dalam, karena mereka belajar menghadapi tantangan bersama.

Meski cedera ini adalah ujian berat bagi Lisa, ia tahu bahwa dengan dukungan dari Jennie dan tekad yang kuat, ia akan bangkit kembali. Ia mulai menyadari bahwa terkadang dalam hidup, tidak apa-apa untuk melambat, asalkan tujuannya tetap jelas di depan mata.

Tbc.


Detak Jantung di Lapangan BasketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang