27. |Tanpa Sengaja Abai|

1.1K 141 85
                                        

All We Need Just Heal》

Tanpa Sengaja Abai

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

Gemerlap lampu gedung di tengah kota Jakarta malam ini padu dengan gerimis kecil yang mengantar hawa dingin. Pukul sebelas malam, mobil hitamnya masih membelah jalan ibukota yang mulai sunyi. Setelah dua malam ia habiskan di rumah sakit untuk menjaga adiknya yang tiba-tiba menurun kondisinya, kini Mahaka harus pulang sebentar ke rumah. Menuntaskan beberapa pekerjaan yang diminta, juga memenuhi panggilan sang bunda.

Kemudinya berhenti di depan sebuah pagar hitam tinggi menjulang yang mulai terbuka. Mahaka melajukan mobil sampai ke garasi setelah memberikan salam pada Pak Deden. Ia memarkirkan fortuner hitam dan mematikan mesinnya.

Tangannya tergerak memijat kening bagian tengah. Masalah yang terjadi akhir-akhir ini cukup menguras banyak emosi dan tenaganya. Ia sudah tidak tahu harus bersikap seperti apa ketika berhadapan dengan orang-orang yang telah merusak kepercayaanya.

Mahaka membuka pintu dan keluar dari mobilnya. Melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah melalui pintu utama. Tak ada orang. Wajar, karena malam sudah terlalu larut.

"Masih ingat pulang kamu, Bang?"

Langkahnya terhenti tepat sebelum memijaki undakan tangga pertama. Mahaka mengembuskan kasar napasnya. Kalimat sapaan dari wanita yang sangat ia hormati.

"Sibuknya ngalah-ngalahin dokter jaga rumah sakit yang harus siaga 24 jam."

Bahu Mahaka menegang. Bagaimana bisa aroma greentea latte yang seharusnya menenangkan malah memuakkan saat memyapa indra penciuman. Setengah mati Mahaka menata hati sebelum berbalik badan menghadap sang bunda. Luapan emosi yang bisa pecah kapan saja harus ia redam karena nyatanya, Mahaka tak pernah benar-benar mendapatkan haknya di rumah ini.

"Esa sakit, Bun. Lambungnya ada pendarahan karena luka. Dua hari yang lalu dokter harus pasang selang dari hidungnya buat nyedot darah yang ada di dalam. Dia nggak bisa bangun buat ke kamar mandi, nggak bisa ngomong, nggak bisa makan. Aku kan udah bilang kemarin, Bun," nada bicaranya melemah. Frustasi dengan keadaan yang semakin merunyamkan suasana hatinya.

"Sebagai seorang dokter, bukannya Bunda harusnya nanyain keadaan Esa ya dari pada menghakimi aku kayak gini?"

Mahaka tidak bergerak dari tempatnya. Membiarkan wanita yang mengenakan piyama marun itu datang menghampirinya.

"Kamu banyak kerjaan, Bang. Harusnya banyak istirahat biar badan kamu nggak ikutan sakit."

"Menurut Bunda siapa yang harusnya jagain Esa kalau aku harus istirahat supaya nggak ikut sakit?" 

Keduanya sama-sama sedang dalam emosi yang tidak baik. Tidak bisa ditenangkan. Tidak ada yang mau mengalah.

"Di sana banyak dokter, perawat, kamu bisa minta tolong jasa home care buat jaga dia," mata Nuri memerah dengan penekanan di setiap katanya. Ia tidak terima ditatap penuh amarah oleh anak sulungnya seperti saat ini.

Mahaka berdecak kemudian tertawa remeh setelahnya. Tangan kanannya memijat tengkuk sebelum menjawab pernyataan yang baru saja Bundanya lontarkan.

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang