19; Restu Tuhan yang Sama

225 23 1
                                    

Jevian menyandarkan punggungnya pada tembok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jevian menyandarkan punggungnya pada tembok. Demi mendengar cerita Sabas, Jevian melupakan rasa laparnya. Setelah Sabas selesai menceritakan semua yang terjadi kemarin, terdengar helaan napas dari kawan di depannya. Sabas melirik untuk melihat ekspresi Jevian yang ternyata belum puas dengan ceritanya.

"Itu aja yang mau lo ceritain?" tanya Jevian dengan nada ketus.

Sabas mengulum senyumnya, "emangnya lo mau denger apa lagi?"

"Soal perasaan lo." Jevian melipat tangannya di dada, "nggak ada yang perlu lo jelasin soal itu?"

Sabas kembali menunduk. Tangannya dimasukkan ke saku celana, kini menatap kosong ke arah mahasiswa yang berlalu-lalang. "Gue ini mudah terobsesi."

Jevian tahu hal itu. Ia yang pertama menyadarinya, meskipun selama ini belum pernah membahas bersama Sabas perihal sifat obsesi yang Sabas miliki.

"Gue terobsesi sama semua hal yang gue suka. Agama, jurusan, dan organisasi yang saat ini gue jalani. Bahkan gue terobsesi menjadi detektif." Sabas terkekeh hambar, kembali menoleh pada Jevian yang tidak banyak memberi reaksi. "Makanya gue iri sama lo yang punya intuisi kuat secara alami, beda sama gue yang harus berusaha keras untuk mengungkap sesuatu." Sabas menghela berat, ekspresinya berubah murung. "Jelila juga sama obsesinya. Lo lihat sendiri, kan, bagaimana dia beraktivitas selama ini. Makanya gue takut, Jev. Ini bukan cuma soal agama, tapi gue rasa kami nggak bisa bersama karena obsesi itu."

Sabas dapat mendengar kawannya itu ikut menghela. Ketika ia melirik Jevian, terlihat laki-laki itu menunduk dengan tatapan kosong. Sabas tidak enak hati membuatnya ikut memikirkan masalah mereka, padahal Jevian tidak ada hubungannya dengan ini. Makanya Sabas pikir tidak perlu menceritakan apa pun pada Jevian. Namun, jika Jevian sudah meminta, Sabas tentu tak bisa menolak.

"Gue cinta Jelila, Jev."

Akhirnya Jevian mendengar kalimat itu dari Sabas. Entah mengapa ada perasaan lega di dadanya setelah mendengarnya langsung. Ia yakin Sabas menderita karena perasaannya yang tak kunjung ia ungkapkan selama ini.

"Satu-satunya yang nggak mau gue jadikan objek obsesi gue cuma Jelila, karena gue sayang dia. Perasaan ini buat gue takut kalau suatu saat keegoisan gue akan merebut dia dari Tuhannya." Suara Sabas mengecil di ujung kalimatnya.

"Kalian nggak punya harapan?" tanya Jevian. Pertanyaan itu terdengar bodoh, tapi percayalah, Jevian juga masih ingin melihat setitik harapan di antara keduanya.

Sabas menggeleng kecil dengan senyum mirisnya. Meskipun laki-laki itu berusaha menutupi kesedihannya, hidung Sabas telah berubah merah akibat menahan tangis.

"Mungkin gue cuma bisa berharap di kehidupan selanjutnya, gue bisa kembali jatuh cinta sama dia atas restu Tuhan yang sama."

~ Ice Cream ~

Ketika Jevian membuka pintu, mereka disambut dengan suara tawa dari beberapa orang. Sabas mengintip di belakang tubuh Jevian, mereka dapat melihat anggota Tim Netra beserta BEM tengah berbincang sambil tertawa. Ada seorang gadis yang asing bagi Jevian di tengah-tengah mereka.

Ice Cream; Jaemin & JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang