16. (Dyren)

948 121 33
                                    

Dering hp bergetar kencang di saku celana Rinz, sudah sejak lama hp nya berbunyi, ia fikir tidak penting untuk di angkat sekarang,tapi telfon itu seakan tak berhenti sampai ia mengangkat nya.

Saat Rinz mengangkat telfonnya wajah nya langsung berubah panik, Alya kebingungan dengan apa yang terjadi dengan nya, tapi setelah Rinz selesai dengan itu ia langsung izin pamit pulang ke Gh.

"Rin aku anterin!"

Tak ada respon dari nya, Rinz sudah pergi menjauh, meninggalkan Alya yang masih kebingungan di tempat nya.

Sepanjang perjalanan nya, Rinz mengumam kesal, saking buru buru nya ia menyewa taxi yang sekiranya kosong di pinggir jalan. Ia duduk di kursi belakang dengan cemas, menelfon Dyren berkali kali lewat Hp nya. Tapi tak ada yang tersambung dengan Dyren satu pun.

"Bangsatt"

Hampir setengah jam di jalan, saat sampai Rinz langsung turun, tanpa peduli hujan yang membasahi nya, Rinz langsung melangkah cepat memasuki GH tanpa banyak berpikir. Dia nggak peduli lagi soal apapun, dia cuma ingin bertemu Dyren, untuk memastikan kalau semuanya baik-baik saja atau mungkin mencari tahu jawaban, apa yang ia baru sadar tadi.

Setelah melewati beberapa ruangan, akhirnya langkahnya berhenti di ruang tamu. Di sana, Dyren duduk di sofa, matanya terlihat kosong, tapi ada sesuatu yang tampak berbeda dari biasanya. Rinz berhenti sejenak, menatapnya, dan seolah-olah semuanya berubah jadi lebih nyata begitu melihat Dyren lagi.

"Ren!"

Dyren menatap nya bingung, Rinz menghampiri nya dengan badan basah, Dyren berdiri menghampirinya, wajah nya semakin bingung saat Rinz tiba tiba memarahi nya.

"Tolol banget Ren! Hp jangan di matiin, lu tau gak? Gua sama Skylar panik karena lu sendirian di GH, lagi sakit pula"

Rinz memerahi nya dengan tatapan kesal, di satu sisi Dyren malah tertawa kecil melihat nya. Gemas, itu yang ada di benak nya sekarang.

"Maaf, Hp ku mati lek belum aku cas tadi" Jawaban dari Dyren membuat Rinz semakin kesal, bagaimana tidak Dyren tak menganggapi nya serius.

"Tolol anjing" Gumam Rinz semakin jadi, ia menyisir rambut nya dengan tangan nya, sekarang ia mulai merasa lelah karena berlari dari sana ke sini sampai ke GH.

Rinz masih berdiri di depan Dyren, dengan badan basah kuyup akibat hujan yang tak kunjung reda. Dia menatap Dyren sejenak, lalu menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun perasaan bingung dan cemas masih menggelayuti hati.

"Tuh kan, lu bikin gua lari-lari kayak orang gila," ujar Rinz, suaranya sudah sedikit lebih santai meskipun tetap ada nada kesal. Dia duduk di samping Dyren, menatap temannya itu dengan pandangan yang lebih lembut.

Dyren cuma menoleh, masih terlihat bingung dengan reaksi Rinz yang begitu intens. "aku kan nggak kenapa-kenapa," jawabnya pelan. "Cuma lagi pusing aja tadi pagi, terus... HP aku lupa cas."

"Gak tau lah Ren.."

Sempat hening di antara mereka,Rinz mengalihkan pandangannya, menatap langit yang terlihat melalui jendela. "Tapi lu tuh aneh, Ren," lanjut Rinz dengan nada lebih ringan, meskipun ada sedikit kegugupan di balik kata-katanya. "lu nggak pernah bikin gua khawatir kayak gini sebelumnya."

"Ya maaf lek, sengaja aku"

Rinz menghela napas panjang, merasa sedikit kesal tapi juga khawatir. Tanpa pikir panjang, dia langsung bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Dyren dengan erat, tubuhnya menyentuh tubuh Dyren yang masih duduk dengan ekspresi bingung.

"Jangan bikin gua khawatir kaya gini lagi, Ren," ucap Rinz pelan, suaranya terdengar sedikit lebih lembut dari biasanya.

Dyren terdiam sejenak, bingung dengan reaksi mendalam yang datang begitu cepat. Ia merasa tubuhnya kaku, tapi dalam hati nya, ada perasaan aneh yang mulai menghangat.

"Lu ngerti kan, Ren? Gua nggak mau liat lu sendirian kayak gini," lanjut Rinz, masih memeluk Dyren lebih erat. "Gua nggak peduli seberapa banyak lu bilang gak apa apa, gua tetep khawatir. Lu penting buat gua."

Dyren merasa perasaan itu mulai tumbuh, sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Kejutan ini datang begitu mendalam, membuatnya merasa cemas sekaligus senang, tapi dia tahu, mungkin ini saat yang tepat buat dia mulai menyadari apa yang sebenarnya dia rasakan.

"Rinz..." Dyren mencoba berkata sesuatu, tapi kata-katanya terhenti. Dia merasa ada sesuatu yang harus diungkapkan, namun dia belum siap mengatakannya.

Rinz perlahan melepaskan pelukannya, menatap Dyren dengan senyum tipis. "Gua cuma pengen lu tahu, Ren. Gua baru sadar sama perasaan gua, gua ga maksa lu buat punya perasaan yang sama juga Ren."

Dyren terdiam, jantungnya berdebar kencang, bahkan pusing yang tadi ia rasakan sekarang tak ada artinya. Sekarang Rinz tepat di depan nya, mengakui semua yang di anggap Dyren tidak mungkin untuk disadari Rinz. Perasaan yang selama ini ia sembunyikan akhirnya terungkap, dan Dyren merasa seolah-olah dunia tiba-tiba menjadi lebih terang.

"Kalau lu jijik sama gua gak apa-apa kok Ren," kata Rinz dengan suara pelan, meskipun ada nada cemas yang masih tersisa. Dia takut, takut kalau perasaannya ditolak, takut kalau Dyren merasa tak nyaman.

Namun, Dyren justru tersenyum tipis, meskipun ada rona merah di pipinya. Tanpa banyak berpikir, Dyren mengangkat tangannya, menyentuh lembut pipi Rinz, lalu mendekatkan wajahnya. Hati mereka berdua terasa berdebar, dan seolah-olah waktu berhenti sejenak.

Tak butuh waktu lama, Dyren mencium Rinz lembut di bibirnya. Ciuman itu terasa hangat dan penuh perasaan. Rasa hangat dari tubuh Dyren tersalurkan ke tubuh Rinz yang mulai dingin karena hujan, namun seketika itu juga, dia merasa tenang. Ciuman itu adalah ungkapan dari semua yang selama ini mereka sembunyikan, dari semua kebingungan dan ketakutan yang pernah ada di antara mereka.

Rinz merespon ciuman itu perlahan, matanya terpejam, menikmati setiap detik yang berlalu. Dyren, yang sebelumnya ragu dan bingung, kini merasa semua itu benar, semuanya akhirnya mengalir dengan alami. Mereka berdua tidak perlu lagi berpikir panjang, karena apa yang mereka rasakan kini begitu jelas, tak ada yang perlu disembunyikan lagi.

Setelah beberapa saat, mereka terpisah, namun tangan Dyren masih menggenggam lembut wajah Rinz. Matanya mencari mata Rinz dengan tatapan yang lebih tenang, dan Rinz, meskipun masih sedikit terkejut, membalas dengan senyuman yang tulus.

"Ren...," Rinz memulai dengan suara rendah, "jadi... lu nggak jijik kan?"

Dyren tertawa pelan, senyumannya semakin lebar. "aku malah nggak tahu harus bilang apa, tapi... aku rasa ini yang aku rasain juga, Rinz," jawabnya dengan pelan, namun hatinya terasa lebih ringan, lebih jelas.

Rinz mengangguk, merasa lega. "Jadi, kita mulai dari sini, ya?" tanya Rinz, matanya berbinar, meskipun masih ada rasa canggung di antara mereka.

Dyren hanya tersenyum dan mengangguk, merasa segalanya akhirnya tepat di tempatnya.

~~~
End
~~~

Glasses (Sutsujin x Hazle) x (Dyren x Rinz)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang