9. YANG TIDAK PERNAH MATI

1 1 0
                                    

Di lereng dingin Rinjani, di bawah naungan langit yang berselimut kelabu, tumbuhlah Edelweis. Bunga abadi itu, dalam sunyi dan kesahajaannya, memanggil hati para pendaki yang mencari keabadian cinta, meski hanya dalam kepingan mimpi. Di tengah kerikil kasar yang menyangga akar-akarnya, Edelweis menatap semesta dengan keteguhan yang tidak pernah rapuh.

Adinda adalah salah satu jiwa yang terjebak dalam magisnya. Sebagai seorang penulis muda yang haus akan inspirasi, ia menganggap bunga itu sebagai simbol dari segala yang tak tergapai-abadi, tetapi terasing. Pada malam bulan purnama, ia memutuskan untuk mendaki sendiri, meninggalkan kota yang gemerlap namun hampa.

"Aku ingin menulis sesuatu yang menggetarkan hati," ucapnya pada dirinya sendiri, menatap puncak yang membiru di kejauhan. "Dan Edelweis akan menjadi inspirasiku."

Perjalanan itu tidaklah mudah. Batu-batu tajam menusuk sepatunya, angin dingin menggigit kulitnya, dan malam seolah merangkulnya dalam keheningan yang menakutkan. Namun, ia tetap melangkah, menyusuri jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan cemara. Dalam perjalanan itu, ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang duduk di bawah pohon pinus, menghisap rokok lintingan yang asapnya membentuk lingkaran-lingkaran kecil.

"Anak muda, ke mana langkahmu membawa kau malam ini?" tanya lelaki itu, suaranya parau seperti angin yang berhembus dari celah-celah batu.

"Ke puncak," jawab Adinda singkat, tak ingin berlama-lama.

Lelaki tua itu terkekeh. "Edelweis bukan untuk dipetik, apalagi dijadikan pelarian."

Adinda mengerutkan kening. Ia tidak pernah berpikir untuk memetik Edelweis. Ia hanya ingin melihatnya, merasakan kehadirannya yang abadi, lalu menuangkannya dalam cerita. Namun, kata-kata lelaki itu menanam keraguan dalam hatinya. Apakah ia benar-benar mencari Edelweis, atau hanya pelarian dari kekosongan hidup yang tak pernah mampu ia pahami?

Puncak itu akhirnya ia daki dengan susah payah. Angin dingin semakin liar, menusuk tulang hingga ia harus merapatkan jaketnya. Ketika matahari mulai naik, sinarnya membelai puncak gunung dengan keemasan yang lembut, seperti janji yang perlahan terungkap. Di sanalah, di sela-sela batu karang, ia melihat Edelweis untuk pertama kalinya.

Bunga-bunga kecil itu tampak rapuh namun kokoh, seperti salju yang tidak pernah mencair. Adinda berlutut, membiarkan ujung jarinya menyentuh kelopak yang halus. Rasanya seperti menyentuh keabadian, sesuatu yang tak terdefinisi, namun nyata.

Namun, saat itu pula, suara lelaki tua yang ia temui di lereng kembali terngiang: "Edelweis bukan untuk dipetik."

Dan seolah menegaskan pesan itu, dari balik batu karang muncul sosok lelaki muda. Ia mengenakan mantel lusuh dan membawa sebuah tongkat kayu. Wajahnya teduh, matanya dalam seperti malam tanpa akhir.

"Kau melihat Edelweis," ucapnya. "Apa yang ingin kau cari dari bunga ini?"

Adinda terkejut. Ia tidak mengira akan bertemu seseorang di tempat terpencil ini. "Aku... aku hanya ingin menulis tentangnya," jawabnya.

Lelaki itu tersenyum kecil, tapi senyumnya terasa penuh teka-teki. "Menulis tentang sesuatu yang abadi? Apakah kau tahu apa arti keabadian bagi mereka yang hidup?"

Adinda menghabiskan malam di puncak bersama lelaki itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Rama. Dalam gelapnya malam, di bawah bintang-bintang yang tak terhitung, Rama menceritakan tentang Edelweis.

"Bunga ini tidak abadi karena tidak pernah layu," ucap Rama. "Ia abadi karena ia tahu cara hidup dalam kerasnya dunia. Ia tidak memohon simpati, tidak menuntut perhatian. Ia hanya ada, dalam sunyi yang mendalam."

Adinda mendengarkan dengan takjub. Kata-kata Rama menyentuh sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang selama ini ia abaikan. Selama bertahun-tahun, ia merasa hidupnya terjebak dalam kebisingan kota, dalam tuntutan dan ekspektasi. Tapi di sini, di puncak gunung yang sunyi, ia merasa hidup untuk pertama kalinya.

"Kau berbeda," ucap Rama tiba-tiba. "Tidak seperti mereka yang datang ke sini hanya untuk memetik, merusak, lalu pergi."

Adinda tidak menjawab. Hanya senyuman yang ia berikan, senyuman yang mengandung rasa syukur sekaligus duka. Karena ia tahu, esok hari ia akan kembali ke kotanya, meninggalkan Edelweis dan segala keajaibannya.

Namun, pagi itu membawa sesuatu yang berbeda. Saat matahari mulai menyingsing, Rama berdiri di hadapan Edelweis, menatap bunga itu dengan mata yang penuh kebijakan. Ia mengucapkan sesuatu yang terdengar seperti doa, lalu menoleh pada Adinda.

"Kau boleh membawa Edelweis ini bersamamu," ucapnya, "tapi tidak dalam bentuknya yang kasat mata. Bawalah dalam hatimu, dalam tulisanmu."

Adinda mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seolah diberi amanat, bukan hanya untuk menulis, tapi untuk menjaga keabadian yang sebenarnya-keabadian yang terletak pada makna, bukan pada bentuk.

Ketika ia turun dari gunung, ia membawa sesuatu yang lebih dari sekadar cerita. Ia membawa kesadaran, bahwa keindahan sejati tidak pernah perlu dimiliki. Ia hanya perlu dihargai, dijaga, dan dibiarkan hidup.

Bertahun-tahun kemudian, nama Adinda dikenal sebagai penulis besar. Karyanya yang paling terkenal adalah sebuah novel berjudul "Edelweis yang Tidak Layu di Kala Senja". Novel itu menjadi cermin dari perjalanan jiwanya, sebuah pengingat akan keindahan yang ia temukan di puncak gunung.

Namun, Adinda tidak pernah kembali ke sana. Ia tidak pernah merasa perlu. Dalam hatinya, Edelweis akan selalu ada, abadi, seperti janji yang tidak pernah teringkari.

Dan di suatu senja, ketika angin lembut membawa aroma pinus yang samar, Adinda tersenyum sendiri. Ia tahu, Edelweis tidak pernah benar-benar jauh. Bunga itu hidup dalam setiap huruf yang ia tuliskan, dalam setiap kisah yang ia bagikan.

Ia telah menemukan keabadian yang selama ini ia cari.

Asmaraloka - Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang